KIAN hari, tawuran pelajar bukannya semakin berkurang, malah makin beranak pinak dengan eskalasi dan bentuk yang kian mengerikan. Bahkan, dalam tiga pekan terakhir, seiring dengan selesainya ujian nasional SLTA dan SLTP, berita tawuran hampir setiap hari menghiasi media massa.
Insiden terakhir terjadi Kamis (3/5) sekitar pukul 18.30 WIB di Jalan Ampera, Bekasi Timur. Tawuran pelajar dua SMK di Jakarta Timur itu mengakibatkan seorang pelajar tewas dan dua lainnya luka serius karena dibacok. Para pelajar itu baku hantam menggunakan celurit, parang, dan sabuk bergerigi besi di wilayah Bekasi.
Peristiwa itu menambah panjang daftar korban sia-sia akibat tawuran pelajar. Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan jumlah tawuran pelajar pada 2011 mencapai 339 kasus dan memakan korban tewas 82 orang. Jumlah itu meningkat 165% dari 128 kasus pada tahun sebelumnya.
Penyebab pelajar bertawuran sering kali hanya karena masalah sepele, seperti berpapasan di angkutan umum, pertandingan olahraga, atau saling ejek. Bahkan, akhir tahun lalu, ada tawuran yang dipicu saling ejek di Facebook, kemudian menyebabkan nyawa seorang pelajar melayang.
Hilangnya nyawa pelajar dan luka serius yang mereka derita menunjukkan bahwa tawuran pelajar tidak bisa lagi dianggap enteng. Peristiwa itu tidak lagi memadai untuk sekadar dianggap kenakalan remaja.
Tawuran pelajar sudah berubah menjadi ajang balas dendam berwujud kriminal. Mereka menyiapkan amunisi senjata tajam sejak awal.
Tentu saja, senjata itu bukan dimaksudkan sebagai aksesori. Senjata-senjata mematikan itu terbukti digunakan untuk menghabisi orang lain. Tidak mengherankan jika puluhan nyawa mati sia-sia.
Jika melihat asal-muasal tawuran yang sekadar menuntaskan dendam atas hal-hal sepele, menunjukkan bahwa sumbu perdamaian sudah teramat pendek. Itu sekaligus menegaskan dugaan bahwa kekerasan memang telah diternakkan sehingga kian akrab dengan anak bangsa.
Jelaslah, pelajar kita, para tunas bangsa, memiliki referensi yang cukup untuk berlaku brutal. Mereka menyaksikan tindakan kekerasan--entah atas nama agama, suku, atau kelompok--sering kali dibiarkan tanpa tindakan tegas dari aparat negara.
Hukum sangat lembek terhadap pelaku kekerasan, sebaliknya malah sering mengkriminalkan korban. Tidak aneh jika kemudian pelajar meniru itu dengan harapan mereka juga tidak bakal dikenai sanksi.
Minimnya keteladanan para elite tentang perilaku hidup berdampingan secara damai, tentang satunya kata dengan perbuatan, kian memperparah keadaan. Padahal, jika negara serius memberantas tawuran pelajar dan memberi teladan yang otentik, beragam cara bisa dilakukan.
Harus ada tindakan tegas yang membuat jera, tanpa mengorbankan spirit mendidik. Selama negara absen menindak perilaku kekerasan, selama itu pula tawuran pelajar terus mendapatkan ruang. Kita sangat tidak berharap tunas-tunas muda bangsa di satu pihak menjadi pembunuh, dan di lain pihak menjadi korban yang berguguran sebelum berkembang.
Sumber:
http://www.mediaindonesia.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar