Home

Mei 07, 2012

Perempuan Murah, Perempuan Mahal: Filosofi Menutup Aurat dalam Agama


“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang shaleh.” (Rasulullah SAW)

“Segala sesuatu ada penegurnya, dan penegur hati adalah rasa malu!” (Rasulullah SAW)

“Hilangnya rasa malu perempuan zaman sekarang adalah salah satu sumber kerusakan moral masyarakat, termasuk dalam masyarakat Muslim.” (Dina Katresna Gusti)
a
Mengapa perempuan Muslim harus menutup auratnya? Apakah karena wajib sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, dan kalau tidak melaksanakan berdosa? Benar, tapi mari kita kesampingkanlah dululah alasan perintah ini. Kita semua mafhum, melaksanakan sesuatu karena dasarnya wajib atau perintah menunjukkan kesadaran diri yang rendah. Mari kita mendasarkan pada kesadaran diri saja, mari memahami ini dengan akal sehat saja. Akal sehat tidak pernah bertentangan dengan agama. Bila kata akal sehat benar maka benarlah perintah agama, pantaslah Allah dan Rasul-Nya memerintahkannya. Kesadaran seperti ini akan lebih kuat menancap dalam hati dibandingkan yang dasarnya karena perintah.
Kita akan lebih kuat melaksanakan sesuatu bila sudah sadar bahwa itu memang keharusan. Seorang anak akan rajin belajar dengan sendirinya bila menyadari bahwa belajar itu penting karena akan menentukan masa depannya sendiri, tanpa harus disuruh-suruh. Seorang perempun Muslim yang sudah menutup aurat dengan benar dan konsisten itu karena ada kesadaran dalam dirinya. Sementara yang belum juga karena belum adanya kesadaran dalam dirinya. Bila diri belum sadar, walaupun ceramah didengarkan setiap hari, walaupun ayat Al-Qur’an dibacakan ratusan kali, tetap saja seseorang tidak akan tergerak melaksanakan sebuah keharusan. Mungkin sebenarnya semua perempuan Muslim sudah tahu bahwa menutup aurat sesungguhnya adalah persoalan memuliakan harga diri perempuan. Dalam Islam, perempuan itu makhluk yang mulia dan dimuliakan. Dengan menutup aurat, agama bermaksud menjaga harga diri dan kehormatannya.


Ilustrasi yang paling tepat mengibaratkan perempuan Muslim adalah perhiasan atau barang mahal. Barang mahal memiliki ciri-ciri:
(1) dijual di toko berkelas,
(2) disimpan di etalase yang hanya bisa dipandang dibalik kaca,
(3) disegel, tidak bisa dibuka dan disentuh isinya,
(4) tidak bisa dicoba dulu,
(5) harganya mahal dengan jaminan memuaskan, dan
(6) bergaransi.

Kebalikan dari barang mahal adalah barang murah.
Ciri-cirinya:
(1) adanya di toko murah, di emperan atau di pasar,
(2) tidak disegel,
(3) diobral,
(4) boleh dicoba, bebas disentuh-sentuh, dipegang-pegang, dicoba berulang kali oleh banyak orang,
(5) setelah dicoba boleh tidak jadi dibeli,
(6) tidak ada garansi.

Islam memperlakukan perempuan persis seperti barang mahal tersebut.

Diibaratkan dua jenis barang tadi, “toko berkelas” adalah keluarganya yang bermartabat yang taat pada agama; “disegel, tidak bisa dibuka dan disentuh” adalah prinsip dibalik busana Muslimahnya; “tidak bisa dicoba dulu” adalah menjaga kehormatan, tidak bisa memesrai dan menggaulinya tanpa menikahinya dulu; “haganya mahal” adalah pembelinya harus laki-laki yang juga mahal (terjaga akhlak dan kepribadiannya). Laki-laki murahan tidak akan sanggup karena tidak akan berani, malu mendapatkannya dan merasa dirinya tidak seimbang; “bergaransi” adalah orisinial, dijamin masih gadis dan belum disentuh laki-laki lain.

Jelas, menutup aurat adalah menjaga diri, mensegel diri, menghormati diri, memuliakan diri. Perempuan yang menutup auratnya dengan benar dan akhlaknya terjaga, adalah barang mahal yang tersimpan dalam etalase, terjaga dalam sebuah kotak yang tidak bisa dibuka, tersegel, tidak bisa disentuh dan harganya mahal. Sebaliknya, perempuan yang membuka auratnya (betis, paha, lengan, rambut, leher dan dada, apalagi lebih dari itu) adalah “barang obralan” yang murah, tidak perlu repot-repot ingin membukanya karena ia sudah terbuka (tidak ditutup), silahkan bebas menatap dan menyentuh-nyentuhnya (dalam kebebasan pergaulan dan persahabatan),  “merasakannya” (dalam kemesraan pacaran) dan menikmatinya dengan berzina yang sekarang sudah umum dari anak SMP, SMA, mahasiswa hingga yang sudah bersuami. Kalau sudah tidak suka lagi atau tidak cocok, boleh tidak jadi memilikinya. Jadilah, ia barang bekas alias sampah. Barang bekas tentu tidak berkualitas, murah, karena sudah dipakai orang.

Mengapa perempuan yang seharusnya mahal menjadi murah? Kata Nabi, karena hilangnya rasa malu: “Al-hayu-u minal iman” (malu itu sebagian dari iman). “Iman itu ada tujuh puluh cabang dan malu adalah salah satunya” (HR. Muslim). “Segala sesuatu ada penegurnya (penjaganya), dan penegur hati adalah rasa malu!” Sangat menyedihkan, bila dulu perempuan malu kelihatan auratnya, sekarang malah bangga mempertontonkannya. Maka berbaju ketat menjadi mode, bercelana pendek berarti gaul, dan menonjolkan payudara adalah kebanggaan. Rasa malu hilang dari perasaan perempuan. Bila perempuan sudah kehilangan rasa malu, itu berati kehancuran negara, masyarakat dan keluarga. Maka benarlah, “perempuan membuka auratnya dalam kehidupan sosial adalah salah satu sumber kerusakan moral seksual masyarakat, termasuk dalam masyarakat Muslim.” Dan iblis pun pernah berkata: “Perempuan adalah alat senjataku yang paling ampuh untuk menyesatkan anak adam. Ia seperti anak panah. Sekali kulepaskan dari busurnya, jarang meleset!”

Sehubungan dengan ilustrasi barang mahal tadi, sering muncul pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini:
(1) Bagaimana dengan perempuan yang berkerudung menutup auratnya tapi tidak menjaga akhlaknya, bebas pacaran, bermesraan dan banyak disentuh-sentuh apalagi sudah tidak perawan? Ia adalah “barang mahal” yang palsu, aslinya murah bungkusnya pun murah, hanya simbol sehingga gampang dibuka dan dicoba. Ia barang tipuan yang tanpa sadar sedang menipu dirinya sendiri.
(2) Bagaimana dengan perempuan yang merasa tidak perlu menutup aurat yang penting bisa menjaga diri sehingga tetap menganggap dirinya perempuan terhormat? Kalau benar-benar bisa menjaga diri, ia adalah barang mahal yang diobral. Barang bagus yang diobral tetap saja lebih murah dan lebih rendah nilainya dari barang mahal yang tidak diobral.
(3) Bagaimana dengan perempuan yang mengatakan: “Ah, yang berkerudung juga banyak yang kelakuannya parah, mendingan begini, gak berkudung tapi punya prinsip”? Itu artinya menutupi keengganannya dengan kesalahan. Lain kata, lari dari satu kesalahan dan bersembunyi dalam kesalahan yang lain.
(4) Bagaimana dengan perempuan (juga laki-laki) yang berusaha mengutak-ngatik pengertian “aurat” dengan logikanya kemudian berkesimpulan menutup aurat itu tidak perlu? Menutup aurat adalah perintah Allah yang nash-nya jelas, tak bisa ditawar-tawar lagi (Al-Ahzab: 59). Apapun argumennya, kalau ia laki-laki, ia sedang memaksakan keinginannya agar perempuan menjadi barang murah atau murahan. Kalau ia adalah perempuan, ia sedang memaksa-maksakan dan memperkosa diri dan kaumnya agar harganya murah dan murahan.
(5) Bagaimana dengan pemikir, ulama bahkan ahli tafsir yang mengatakan menutup aurat itu tidak perlu, karena pengertian “sebenarnya” tentang aurat (ditinjau dari bahasa Arab, ulumul Qur’an, ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah dsb) bukanlah yang secara konvensional difahami selama ini? Apapun argumennya, secanggih apapun analisisnya, ia sedang melegitimasi penolakannya pada perintah Tuhan dan tuntunan Nabi dengan ilmu dan pikirannya berdasarkan hawa nafsu ilmu agamanya (ini paling ironis dan paling berat pertanggungjawabannya di akhirat kelak). Ingat, ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak menumbuhkan kesadaran malah menjadi penolakan pada kebenaran dan perintah Tuhan sendiri.

Perintah agama begitu masuk akal, rasional dan sangat jelas untuk memuliakan kaum perempuan. Menghadapi perintah Tuhan hanya satu: “Sami’na wa atha’na” (Kami dengar dan kami taat) bukan dengan diskusi dan analisis. Ilustrasi-ilustrasi di atas hanya untuk menguatkan bahwa perintah agama sebenarnya berlandaskan akal sehat agar manusia mampu menangkap kebenaran, menyadarinya dan melaksanakannya.  Tapi, tentu saja, apakah ingin menjadi perempuan mahal atau perempuan murah berpulang pada diri masing-masing. Silahkan memilihnya sendiri. Bebas-bebas saja kok. Mau sadar atau tidak kitalah yang menentukan!!

Mau selamat atau celaka kelak di akhirat kitalah yang menanggungnya. Mengapa manusia banyak yang merasa nyaman dalam kesalahan dan ketaksadaran? Karena Tuhan tidak langsung menghukum setiap dosa dan pelanggaran. Dia masih memberikan waktu kepada kita untuk berfikir dan berubah. Itulah sifat Ar-Rahman dan ar-Rahim-Nya, kasih sayang-Nya yang tiada tara pada hamba-hamba-Nya sebelum celaka di akhirat kelak. Masihkan kita akan menyia-nyiakan kesempatan padahal hidup hanya satu kali? Wallahu ‘alam!!

Sumber:
http://moeflich.wordpress.com/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar