Pendidikan kewarganegaraan sangat rentan dimanipulasi oleh kekuatan penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal itu diungkapkan aktivis Sekolah Tanpa Batas, Bambang Wisudo, pada diskusi Revitalisasi Pendidikan Pancasila: Memperkokoh Keberagaman Menuju Keadilan, Kamis (31/5/2012), di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta.
Dia menjelaskan, dengan terkonsolidasinya kekuatan Orde Baru, kepentingan dan tafsir kekuasaan atas Pancasila menghegemoni pendidikan kewarganegaraan yang kemudian mengubahnya dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Mata pelajaran tersebut baru ditinjau kembali setelah berlangsung hampir 20 tahun lamanya.
Perubahan itu terjadi dalam kurikulum 1994 dengan mengintegrasikan pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan di bawah mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Setelah Orde Baru, kata dia, pendidikan Pancasila kehilangan gaungnya. Bahkan, pada 2004, kata Pancasila dihilangkan dari mata pelajaran tersebut sehingga menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).
"Perubahan itu tidak mengubah signifikan karakter pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan yang bias kekuasaan, menonjolkan tafsir rezim yang berkuasa, tidak menarik, dan formalistik," ujarnya.
Bambang mengatakan, penghilangan kata Pancasila merupakan tanda semakin termarjinalkannya pendidikan Pancasila di bangku sekolah ataupun perguruan tinggi. Lebih jauh ia menilai, saat ini jamak ditemui siswa SD ataupun mahasiswa tidak hapal, apalagi memahami pengertian yang terkandung dalam Pancasila.
"Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harusnya tidak layak dihilangkan," ungkapnya.
Adapun berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri sejak kelas IV SD sampai dengan kelas XII di tingkat menengah sebanyak dua jam pelajaran dalam seminggu.
Sumber:
http://www.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar