Indonesia adalah semacam firdaus jannatuna’imsangat ramah bagi perokok
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru,diam-diam menguasai kita
Istirahat main tenis orang merokok
di pinggir lapangan voli orang merokok
menyandang raket badminton orang merokok
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok panitia pertandingan balap mobil,pertandingan bulutangkis,turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok
Sajak berjudul “Tuhan Sembilan Senti” karya Taufik Ismail itu tiba-tiba terbayang di benak saya saat menyaksikan berita-berita mengenai Hari Tanpa Tembakau Sedunia di televisi. Kemudian ingatan-ingatan mengenai polemik soal rokok berkecamuk di kepala saya. Maka saya memutuskan untuk menulis mengenai rokok.
Masalah rokok ini memang masalah yang cukup komplek. Sebab banyak orang yang bergantung dengan lintingan tembakau sepanjang rata-rata sembilan senti ini. Setiap ada wacana soal rokok, pasti akan menjadi polemik keras.
Polemik terbaru adalah soal fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh PP Muhammadiyah. Sudah bisa ditebak, banyak pihak tidak setuju dengan fatwa itu. Yang tidak setuju ini kebanyakan berasal dari kalangan perokok dan pengusaha rokok. Alasannya klise: ribuan periuk nasi tergantung dengan industri tembakau itu, mau makan apa jika rokok dilarang dan pabrik rokok ditutup.
Padahal yang dikeluarkan Muhammadiyah itu fatwa, sifatnya nasehat dan tidak mengikat. Lalu mengapa pada kebakaran jenggot. Jangan-jangan karena produsen rokok sadar bahwa rokok memang berbahaya, dan sudah mulai ditinggalkan dan dibatasi bahkan di larang, jadi takut fatwa itu semakin membuat peminat rokok turun.
Anehnya para ulama juga turut mempersoalkan. Jika jeli mengamati, kebanyakan yang menolak ini ulama yang gemar merokok. Mereka tahu bahaya rokok, mereka juga tahu meracuni diri dalam Islam dilarang, tapi sudah kadung nafsu merokok akhirnya ya tidak berani mengharamkan. Nah, sajak Taufik juga menggambarkan hal itu:
“Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujukkitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa
Mereka ulama ahli hisap
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban
Bukan ahli hisab ilmu falak,tapi ahli hisap rokok.
Di antara jari telunjuk dan jari tengah merekaterselip berhala-berhala kecil
sembilan senti panjangnya,putih warnanya,ke mana-mana dibawa dengan setia
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya”
Taufik dalam sajaknya secara jeli juga mengkritisi keragu-raguan para ulama atas sebuah fakta yang jelas. Misalnya dalam khamr atau minuman keras ada 25 penyakit dan dikharamkan, juga daging babi yang ada 15 penyakit sudah haram. Sementara rokok dengan 4000 zat berbahaya, semua jadi ragu atas hukumnya, lalu.
Jika ditanyakan kenapa Nabi dulu mengharamkan khamr dan babi tapi rokok tidak?. Jawabannya sangat sederhana; karena di zaman Nabi belum ada rokok, paling tidak di masyarakat arab kala itu. Sekarang, rokok sudah haram di tanah suci. Jika anda nekat merokok di sana, siap-siap saja rokok akan dicabut dari mulut anda dan anda akan dihardik. Jadi ini PR bagi para ulama untuk merenungkan dan mengkajinya lebih mendalam. Tapi ingat jangan karena ketagihan rokok lalu hukumnya jadi dimakruh-makruhkan.
Dari data berbagai sumber, tergambar fakta bahwa rokok mengandung kurang lebih 4000 elemen-elemen, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya bagi kesehatan. Racun utama pada rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Sedangkan Nikotin adalah zat adiktif yang mempengaruhi syaraf dan peredaran darah. Zat ini bersifat karsinogen, dan mampu memicu kanker paru-paru yang mematikan. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.
Efek dari racun ini juga cukup beresiko bagi kesehatan. Dia membuat pengisap asap rokok mengalami antara lain: 14 kali menderita kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan, 4 kali menderita kanker esophagus, 2 kali kanker kandung kemih, dan 2 kali serangan jantung. Rokok juga meningkatkan resiko kefatalan bagi penderita pneumonia dan gagal jantung, serta tekanan darah tinggi.
Fakta-fakta ini sudah disadari oleh negara-negara maju dan negara yang peduli kesehatan warganya. Rokok mulai dibatasi produksi dan peredarannya. Di Thailand orang kucing-kucingan membeli rokok, seperti sedang membeli narkoba. Pada seperempat kemasannya juga diberi gambar orang yang sekarat akibat rokok. Contoh lainnya di Austrlia, di mana kemasan rokok tak lagi mencatumkan logo produsen, diganti dominasi gambar penyakit akibat merokok dengan gambar yang mengerikan dan menjijikkan.
Di negara-negara yang sadar ini denda merokok di tempat umum juga sangat mahal. Sebab banyak orang yang menderita akibat menjadi perokok pasif, artinya teracuni oleh asap rokok orang disekitarnya. Jadi tidak merokok pun belum menjamin anda tidak terkena dampak buruk rokok. Karena itu pelarangan merokok di tempat umum kemudian dibuat.
Nah, di negara kita, di Indonesia bagaimana? Seperti kita lihat bersama, rokok dijual bebas di mana-mana. Harganya pun cukup murah, bahkan banyak juga beredar rokok palsu yang lebih murah lagi. Anak-anak mudah menjangkaunya. Akibatnya jumlah perokok aktif makin bertambah. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara pengkonsumsi rokok terbesar ke tiga di dunia.
Siapa yang diuntungkan? Apakah yang diuntungkan perokok yang uangnya habis untuk membeli rokok dan kesehatannya semakin terancam? Jawabannya tentu tidak, yang untung adalah para bos rokok yang kantongnya akan makin tebal seiring banyaknya perokok. Jangan heran jika mereka menduduki jajaran orang terkaya baik versi Indonesia maupun versi dunia. Jadi jangan heran juga jika mereka mati-matian memerangi pendapat anti rokok.
Lalu bagaimana dengan buruh rokok atau petani tembakau? Mereka hanya dipinjam namanya saja untuk melawan kebijakan anti rokok. Saat tinggal di kampong saya akrab sekali dengan mereka. Petani tetap miskin, yang kaya juragan atau tengkulak tembakau. Buruh juga sama miskinnya, bahkan mereka juga terancam kesehatannya. Hal ini juga disadari produsen, makanya setiap buruh harus memakai masker saat melinting rokok. Hem.., mentahnya saja sudah bahaya apalagi jika sudah dibakar.
Hal yang patut disadari juga adalah dengan bertambahnya perokok aktif, maka akan makin banyak perokok pasif. Sebab para perokok ini selalu menghambur asap di muka umum. Aturan pelarangan merokok di tempat umum adalah solusinya. Di sini memang sempat ada aturan itu, tapi seperti halnya aturan lainnya, “hangat-hangat tahi ayam” alias hanya rame dan efektif di awal peraturan ditetapkan saja. Selanjutnya..seperti biasanya, kebiasaan lama tumbuh kembali.
Teman-teman saya yang perempuan banyak yang mengeluh kena asap rokok di tempat umum, tapi mereka tidak berdaya, sebab jika ditegur, perokok yang mayoritas laki-laki akan menghardik balik. Akhirnya hal mereka untuk menghirup udara segar dan hidup sehat dirampas. Mereka Cuma bisa menggerutu dan menutup hidung dengan tangan.
Banyak pihak juga mencoba melawan tembakau melalui pemerintah atau melalui undang-undang, namun hasilnya masih belum terlihat. Cukong-cukong rokok sudah mengakar cukup kuat, bahkan pemerintah terlihat lemah di hadapannya. Lalu kampanye anti rokok pun gaungnya tak begitu besar, mudah ditenggelamkan.
Susah memang melawan rokok, pemujanya sudah cukup besar. Dia sudah menjelma menjadi berhala baru, menjadi Tuhan Sembilan Senti. Pemujanya mengimaninya layaknya agama. Padahal jika mau rasional memikirkan manfaat dan mudharatnya, tentu kita akan mudah meninggalkannya.
Saya sudah bertanya ke banyak perokok mengapa mereka merokok. Jawabannya hampir sama, sudah terlanjur kecanduan. Awal menjadi perokok juga ikut-ikutan teman, biar diterima kelompok, dan sebagainya. Ada yang mencoba mengarang-ngarang alasan, misalnya merokok menghilangkan stres, menumbuhkan inspirasi, dan sebagainya. Lalu alasan kesehatan juga diabaikan, mereka mengatakan hidup dan mati ada di tangan tuhan. Ahay..
Ya sudah lah. Berpolemik mengenai masalah rokok tidak akan pernah habis. Hampir sama dengan berpolemik mengenai agama. Sebabnya itu tadi, rokok sudah menjadi berhala baru, Tuhan Sembilan Senti, pendukungnya banyak, yang berkepentingan di belakangannya banyak. Kepentingannya macam-macam dari personal, bisnis, sampai politis, sedangkan kepentingan anti rokok relatif sama: kesehatan. Jadi saya kembalikan pada anda saja apakah akan terus menjadi perokok dengan segala akibatnya atau memilih untuk menjaga kesehatan. Jika yang terakhir yang anda pilih, maka sudah saatnya anda lari dari Tuhan Sembilan Senti.
Sumber:
http://duniadian.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar