Home

Mei 14, 2012

Kebebasan Berbicara ataukah Pelecehan Agama?


Bukan aktivis Liberal namanya kalau tidak melanggar hukum. Meski mengaku beragama, berdemokrasi, ber-pancasila dan taat undang-undang tapi pada faktanya mereka menginjak-injak, melecehkan atau bahkan merubah penafsiran Hukum Allah dan Hukum di Indonesia, terutama Undang-Undang 1945.

Hal ini terlihat dari pernyataan Gunawan Muhammad saat diwawancarai oleh salah satu Jurnalis Hidayatullah, Menurut Gunawan, banyak orang kehilangan hak untuk berbicara, hak untuk mendengarkan orang dan hak untuk berkumpul yang tidak dilindungi oleh polisi yang seharusnya melindungi hak asasi manusia di Indonesia.

“Menurut saya biasa saja, karena ini cuma kegiatan peluncuran buku. Seharusnya kalau mau dilarang dilihat dulu apa yang dibicarakan. Bahwa kita tidak setuju dengan Irshad ya biasa saja, sebetulnya perdebatan itu hal biasa, kan sejarah pemikiran Islam perdebatan itu sudah ada sejak abad ke-7 dan perbedaan pendapat itu adalah rahmat. Tapi dalam hal berbicara, kita belum mendengar apa yang dia omongkan, jangan-jangan ada yang menarik?,” jelas Gunawan. (lihat : Goenawan dan Ulil Kecewa Pembubaran Acara Irshad Manji, hidayatullah.com, 05/05).

Bahkan seorang feminis liberal yang dilabeli sebagai Mujtahidah seperti Irshad Manji pun ikut-ikutan tidak menghormati hukum-hukum yang berada di Indonesia.

Feminis satu ini tetap kekeuh meneruskan aksinya memberikan kuliah umum di Solo pada Selasa (08/05) dan Yogyakarta pada Rabu (09/05) meski ditentang oleh Umat Islam setempat.

Salah satu admin Tolak Irshad Manji mengungkapkan melalui FB fanspage, “@dina_ardiyanti dalam akun twitternya mengaku jadi moderator dalam diskusi Irshad Manji bersama Jejer Wadon di Solo pada Selasa malam, (08/05). Tampaknya Manji dan pihak yang mengundangnya lolos dari pantauan dan berhasil mengadakan acara di kota tersebut”, jelasnya. (lihat FB fanspage “Satu Juta Umat Islam Menolak Irshad Manji Datang ke Indonesia”).

Bukan hanya itu, kebebasan berbicara yang selalu di usung oleh Irshad Manji sendiri ditolaknya saat ada warga yang mengajaknya berdialog secara persuasif, seperti yang ia ungkapkan pada peserta yang hadir, “Saya tidak percaya bahwa dialog kita dengan mereka akan merubah cara berpikir mereka. Pikiran mereka telah tercipta seperti itu, pikiran mereka telah terdogma untuk tidak berubah,” bantahnya. (Warga Protes Diskusi Irshad Manji di Salihara, hidayatullah.com, 05/05).

Sebagaimana aktivis Liberal lainnya, mereka tetap menutup pintu dialog, meski pada saat yang sama Ulil mengatakan membuka pintu dialog dengan warga setempat.

Namun, yang patut dipertanyakan adalah, benarkah kebebasan berbicara yang selalu diusung oleh aktivis JIL dan simpatisannya tidak bertentangan dengan hukum Indonesia, terutama Undang-Undang Dasar 1945? Apakah Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar menjamin kebebasan berbicara yang sebebas-bebasnya tanpa mengenal batas dan meskipun hal tersebut bisa melecehkan agama lain terutama agama Islam? Kemudian apa kata Undang-Undang Dasar mengenai kebebasan berbicara ini?.

Kebebasan Berbicara, Versi Siapa?

Memang, dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat (2) dan (3) tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa,

“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”;

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Selain itu, hak untuk kebebasan berbicara ini juga diatur dalam pasal lain yaitu pasal 28F :

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Namun, bagaimana jika contoh kebebasan berbicara yang dimaksud adalah seperti yang pernah dikatakan oleh Irshad Manji dan aktivis JIL Saidiman Ahmad berikut ini:

“Aku tahu: Pencipta seperti apa yang cemburu terhadap anak Sapi? Itulah Pencipta yang terus berjuang keras mempersatukan suku-suku yang saling berperang melalui iman yang sama” (Irshad Manji, Beriman Tanpa Rasa Takut, Nun Publisher, hlm. 86).

Atau Saidiman Ahmad dalam akun twitternya :

“Percayakah kamu pada hari Kiamat? Emang doski pernah janji apa?”. (di posting pada tanggal 04 Maret 2012).

Lalu, apakah Undang-Undang Dasar 1945 memang menjamin kebebasan berbicara yang demikian?.

Undang-Undang Dasar 1945 memang sudah mengatur sedemikian rupa mengenai hak ini tetapi yang selalu menjadi masalah adalah, kita selalu memahami sesuatu secara sepotong-sepotong, tidak utuh atau bahkan men-generalisasi apa yang kita pahami bahwa hal tersebut sudah dijamin oleh Undang-Undang Dasar, termasuk dijamin oleh Allah sendiri.

Padahal, jika kita mau membaca lebih dalam dan meneliti kembali seluruh pasal-pasal tentang HAM secara utuh, maka kita akan dapati bahwa benar UUD 1945 menjamin hak untuk berpendapat, untuk berbicara, untuk menyampaikan informasi, tetapi UUD 1945 tidak pernah menjamin hak untuk berbicara yang bertentangan dengan moral dan nila-nilai agama.

Sebagaimana yang ada dalam Pasal 28J ayat (1):

“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”.

Ayat (2) : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Mengenai hal ini, kebebasan pers yang termasuk di dalamnya kebebasan berbicara, kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan menyampaikan informasi, Ir. Pataniari, mantan anggota DPR periode 2004-2009, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-VI/2008 tentang Sanksi oleh KPI atau Dewan Pers dan Kebebasan Berekspresi pernah memberikan keterangan sebagai berikut:

“Kebebasan pers tidak semata-mata bebas tanpa batas, hal ini terkait dengan hak asasi manusia yang juga dapat dibatasi dengan Undang-Undang”.

Oleh karena itu, kebebasan berbicara maupun kebebasan berpendapat seharusnya tidak melecehkan nilai-nilai agama dan ajaran yang diyakini kaum beragama, kebebasan berbicara semestinya tidak mencederai keyakinan orang lain dan kebebasan berbicara hendaknya juga memuat penghormatan dan penghargaan atas hak orang lain.

Kemudian, tidak sepantasnya Irshad Manji seenaknya masuk ke Indonesia tanpa menghargai nilai-nilai agama dan moral yang dianut oleh orang-orang yang beragama di Indonesia dan sepertinya terlalu naif jika memandang diskusi buku Irshad Manji hanya sekedar diskusi biasa tanpa ada muatan nilai apapun di dalamnya.

Namun, kalau pada akhirnya aktivis Liberal itu masih saja tetap kekeuh mendatangkan Irshad Manji lagi untuk kesekian kalinya demi kebebasan berbicara, maka pertanyaan selanjutnya adalah, demi kebebasan berbicara atau kah karena ingin ada pelecehan agama?.

Sarah Mantovani

Sumber:
http://muslimdaily.net/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar