Home

Mei 31, 2012

Pancasila dan Matinya Ideologi


BERBAGAI konflik, yang direfleksikan dengan demonstrasi, unjuk rasa dengan kekerasan dan sebagainya, memprihatinkan bangsa kita yang cinta damai. Korupsi merajalela terjadi di semua lini kehidupan sosial masyarakat. Kita nyaris kehilangan kepercayaan diri untuk memulihkan kondisi ini kepada kehidupan yang nyaman, damai dan sejuk. Pada sisi lain, kita bertanya pada diri, apa yang salah dengan kondisi bangsa ini?
Pertanyaan itu dijawab oleh sementara pakar dengan menyatakan bahwa sekarang ini kita jauh dari Pancasila. Selama ini kita tidak memedulikan, melupakan,  atau meninggalkan Pancasila sebagai ideologi karena euforia perubahan sebagai tindak lanjut reformasi.

Di sekolah-sekolah, di perguruan tinggi, materi yang khusus mempelajari Pancasila pun sudah tidak ada lagi. Maka, ada ide untuk menghidupkan kembali Pancasila, dalam kaitannya sebagai dasar negara, ideologi bangsa  dan pedoman pergaulan,  dalam bentuk memberikan penyadaran secara massal kepada masyarakat.
Ide yang datang dari para pendidik itu sekarang sedang digodog untuk nantinya ditindaklanjuti dalam bentuk konkret. Semisal menjadikannya sebagai materi yang masuk kurikulum, atau bentuk lain yang intinya menghidupkan kembali penerapan Pancasila dalam kehidupan sehari hari dengan harapan kita menjadi bangsa yang tidak kehilangan jati diri. Dalam perspektif ini, kita dapat menjadikannya sebagai referensi ketika tahun 70-an, Daniel Bell, guru besar sosiologi Universitas Columbia  menulis buku The End of Ideology (Matinya Ideologi). Ia mendeskripsikan bahwa ke depan, ideologi yang bersifat lokal akan mati. Ideologi lokal itu terutama yang berbau “isme”, seperti sosialisme, kapitalisme, komunisme dan yang lain. Apa lagi ideologi yang lebih kecil dari itu, atau yang berwawasan kenegaraan dalam arti sempit.


Dalam deskripsinya, penyebab dari matinya ideologi itu adalah kehilang­an orientasi komunitas, khususnya orientasi yang didasarkan pada paham kenegaraan. Ideologi lokal dalam pandangannya tidak bisa menjawab tantangan mo­dern, yang berorientasi pada globalisasi yang ditandai dengan mis-orientasi dari masyarakatnya. Masyarakat modern yang lebih hedonis akan menjadi sebuah komunitas baru tanpa ikatan formal (seperti negara) yang justru berorientasi tidak jelas.

Buku itu mendapat kecaman keras dari para pemikir yang berorientasi status quo. Namun dalam perkembang­an berikutnya tesis yang dikemukakan oleh Bell itu seolah menemukan legitimasinya. Berbagai pihak bahkan mengamini ide tersebut, seiring dengan kian konkretnya tatanan baru pada post modern society (masyarakat pasca-modern) yang tak lagi terikat pada tatanan lokal.

Kumpulan masyarakat lintas negara seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) adalah contoh konkret hubungan yang bersifat lintas negara, bahkan ideologi yang didasarkan pada kepentingan rezim ekonomi yang lebih mendesak.

Ideologi Pancasila
Permasalahan ideologi memang sebuah tema besar, abstrak dan kompleks. Berbagai teori akademis dapat dijadikan sebagai dasar untuk elaborasi. Namun tidak ada pembuktian kuantitatif yang secara baku dijadikan sebagai media legitimasi dari berbagai teori itu.

Namun demikian, seabstrak apapun sejatinya dapat dilokalisasi berdasarkan pemikiran sederhana yang berdimensi waktu kekinian. Dalam hal ide Daniel Bell yang berpengaruh luas itu, seolah memperoleh legitimasi dalam tatanan ideologi Pancasila. Tatanan itu bersumber pada dua momentum penting. Pertama, ketika Pancasila dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan dengan tafsir yang lebih mengemuka didasarkan pada paham politik temporer. Trauma terhadap kekuatan anti-Pancasila yang meng­arah pada totalitarianisme, menjadi dasar untuk membuktikan bahwa tesis Bell tidak benar.

Kekuasaan pada zaman Orde Baru, misal­nya, dinilai menerjemahkan  Pancasila secara sepihak dan menurut selera penguasa. Pancasila dijadikan sebagai legitimasi dengan kinerja konkret berupa indoktrinasi pada seluruh komponen masyarakat baik pada tatanan formal maupun informal. Formal melalui sekolah pada seluruh jenjang pendidikan. Mulai pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Mata pelajaran Pancasila secara kuantitas mendominasi proses ajar-belajar. Informal melalui penataran P-4 bagi seluruh komponen masyarakat baik di Pusat maupun di daerah. Biaya besar digelontorkan untuk kepentingan pemahaman dan penerapan Pancasila saat itu. Kedua, Pancasila yang memperoleh legitimasi kekuatan dengan pemberontakan PKI tahun 1965. Pemberontakan itu menyebabkan seluruh elemen bangsa yang mulanya terpecah, menjadi bersatu dan menghadapi tantangan yang sama, yaitu komunisme.

Ideologi kontemporer yang datang dari negeri China dan Uni Soviet itu secara meyakinkan dibuktikan seba­gai anti-Pancasila. Pancasila pada era itu menjadi kekuatan legitimate untuk memerangi komunisme. Sumber kekuatannya adalah komunisme yang anti-agama, sementara Pancasila dasarnya agama.

Dalam perkembangan berikutnya, Pancasila menjadi keramat dan sakti. Bahkan legitimasi untuk itu dituangkan dalam Tap MPR No: II/MPR/1978 Tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetya Pancakarsa). Ketetapan itu berisi jabaran Pancasila yang mematahkan berbagai pendapat kontra tentang tafsir Pancasila. Dalam ketentuannya dinyatakan bahwa ini bukan tafsir Pancasila (Pasal 1). Ketetapan ini pada perkembangannya dicabut Tap No: XVIII/MPR/1998 dan penegasan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara.

Transisi ideologi
Legitimasi yang seolah alergi terhadap indoktrinasi, dan mengokohkan Pancasila sebagai Dasar Negara itu dituangkan dalam bentuk Undang Undang, yaitu dalam UU No 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan di dalamnya mengatur mengenai Pancasila sebagai mata pelajaran dan mata kuliah wajib bagi peserta didik di semua tingkatan. Namun operasionalisasinya dinilai indoktrinatif.

Pada proses ini, transisi terhadap permasalahan ideologi kemudian diwujudkan dalam bentuk pembubaran berbagai institusi yang dinilai sebagai media indoktrinasi. Tesis sederhananya, bahwa Pancasila bukan hanya milik penguasa yang dapat menterjemankan atau menafsirkan Pancasila sesuai seleranya. Pancasila sebagai ideologi bangsa menjadi milik bersama yang bersifat terbuka. Disebabkan keterbukaan itu pula, seolah ide Daniel Bell menemukan bentuk konkretnya di Indonesia dengan pergantian UU Sisdiknas. Melalui UU Tentang Sisdiknas yang baru (UU No. 20 Tahun 2003) Pendidikan Pancasila dieleminasi dari kurikulum pendidikan di semua jenjang.

Sebagai gantinya adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Trauma masa lalu terhadap tafsir Pancasila yang dilakukan rezim Orde Baru menjadi legitimasi pencoretan Pancasila seba­gai mata pelajaran di sekolah. Kendatipun di beberapa sekolah diberikan pelajaran tentang itu, sifatnya hanyalah muatan lokal (mulok). Acuan dasarnya, Pancasila menjadi materi yang digabungkan dalam mata kuliah PKn tersebut.

Khusus di jenjang pendidikan tinggi, masih ada trauma terhadap pelajaran masa lalu yaitu Kewiraan yang dipandang sebagai “militer masuk kampus”. Hal ini menjadikan mata kuliah itu dipandang sebelah mata. Nilai SKS-nya hanya 2, berarti  hanya ada satu kali pertemuan dalam seminggu selama 90 menit. Satuan waktu yang tentunya sangat sedikit untuk sebuah mata kuliah.

Kesenjangan dimensi dalam pelaksanaan pendidikan juga tercermin dalam perlakuan terhadap peserta didik. Pendidikan sebenarnya merupakan media untuk perubahan perilaku. Ranahnya adalah psikomotorik. Namun aplikasi untuk menuju pada perubahan perilaku pada umumnya hanya didasarkan pada kinerja kognitif. Hanya pada aspek pembekalan, ceramah yang abstrak dan tentu saja membosankan. Evaluasinya pun tidak jelas.

Ide P4
Siapapun sependapat, Pancasila yang menjadi ideologi terbuka masih relevan untuk persatuan dan kesatuan NKRI. Sampai sekarang, belum dan tidak ada ideologi lain yang dapat dijadikan sebagai media mewujudkan character building untuk anak-anak bangsa. Khususnya anak anak bangsa yang tidak mengalami pergolakan ideologi, lebih khusus lagi perebutan kekuasaan pada masa PKI. Apa lagi revolusi untuk mewujudkan Pancasila sebagai dasar negara tahun 1945.

Ide untuk menghidupkan kembali “semacam” Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) misalnya, kian bergulir untuk mengeleminasi berbagai tantangan khususnya tantangan global menjadi relevan. Namun hendaknya tidak didasarkan pada  adanya kekosongan orientasi. Dasarnya keyakinan terhadap keampuhan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara.

Daniel Bell boleh menyatakan bahwa ideologi lokal telah mati. Namun Pancasila sebagai ideologi bagi bangsa Indonesia tidak mati. Pancasila akan tetap relevan dan inheren dengan keberadaan NKRI. Oleh karena itu penanaman character building yang substansinya Pancsila masih tetap relevan. Dalam dimensi  ini yang harus dilakukan adalah memutakhirkan Pancasila dalam dimensi yang sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu. Paling penting, senantiasa berorientasi pada cita kemerdekaan tahun1945. Langkah para pendidik itu harus kita apresiasi. Pemerintah juga harus secara serius mengakomodasikan hal tersebut, dan tidak terpukau pada permasalahan rutin dan penyelesaian masalah secara temporer. Sudah waktunya kita menoleh ke Pancasila, dan segera bangkit dari keterpurukan untuk menjadi bangsa yang lebih santun dan bermartabat.


Oleh : H. JONI, SH.MH. Mhut. 
*Penulis adalah pengamat sosial, tinggal di Sampit, Kotawaringin Timur. Saat ini sedang menyelesaikan Program Doktor Ilmu Kehutanan di Universitas Mulawarman, Samarinda.


Sumber:
http://www.borneonews.co.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar