Home

Mei 24, 2012

SBY Dikecam! Beri Grasi ‘Kejahatan Luar Biasa’


Istana Negara, 29 Juni 2005: Presiden SBY menyatakan, grasi untuk jenis kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotik tidak akan pernah dikabulkan, termasuk bagi Corby. “Ini menunjukkan kita tidak pernah memberi toleransi kepada jenis kejahatan ini,” tegas Yudhoyono saat itu.

Pemberian grasi kepada Corby bertentangan dengan kebijakan pengetatan pemberian remisi pada napi dengan kejahatan luar biasa, seperti korupsi, narkotik, dan terorisme. Sangat disesalkan langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi grasi pada terpidana kasus narkotik, Schapelle Leigh Corby. “Langkah Presiden bukan langkah bijak dalam pemberantasan narkotik.

Bekas Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra menjelaskan, baru kali ini Presiden memberikan grasi pada terpidana kasus narkotik. Hal itu disayangkan karena bertentangan dengan kebijakan pengetatan pemberian remisi pada napi kejahatan luar biasa, seperti korupsi, narkotik, dan terorisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2006. “Tapi kini Presiden kini malah memberi pengampunan napi narkotik.” ,” ujar Yusril, di Jakarta, Rabu, 23 Mei 2012.

Menurut Yusril, saat ia masih menjabat Menteri Kehakiman, Presiden Prancis Francois Mitterand pernah meminta dirinya agar merekomendasikan Presiden RI memberikan grasi kepada napi narkotik asal Prancis. Namun saat itu, permintaan Mitterand ditolak pemerintah lewat Yusril.

Dua minggu kemudian, Mitterand mengirim utusan khusus, yakni adik pemimpin Libya Muammar Qhadafi, untuk menemui Yusril. Namun permohonan mereka tetap ditolak Yusril. Alasannya, Presiden RI belum pernah memberi grasi pada napi kasus narkotik. “Saya heran mengapa Presiden RI sekarang begitu lemah menghadapi permintaan pemerintah Australia,” kata dia.

Dalam hal ini, sejumlah politikus juga mengecam keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan permohonan grasi Schapelle Leigh Corby, terpidana 20 tahun kasus penyelundupan ganja di Bali. Grasi tersebut dinilai bertentangan dengan kebijakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi, narkotik, dan terorisme. ”Kebijakan tersebut juga paradoks dengan semangat memerangi peredaran narkotik,” kata anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Indra S.H., di kompleks DPR, Senayan, kemarin.

Dalam peringatan Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba di Istana Negara, 29 Juni 2005, Presiden juga pernah menyatakan grasi untuk jenis kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotik tidak akan pernah dikabulkan, termasuk bagi Corby. “Ini menunjukkan kita tidak pernah memberi toleransi kepada jenis kejahatan ini,” ujar Yudhoyono waktu itu.

Presiden mengabulkan grasi untuk Corby dengan mengurangi hukumannya selama lima tahun. Dengan grasi ini, vonis warga negara Australia yang ditangkap karena membawa 4 kilogram ganja di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, pada Oktober 2004 itu menjadi 15 tahun penjara.

Indra mengatakan pemerintah seharusnya konsisten memerangi narkotik. Karena itu, dia meminta Presiden membatalkan remisi tersebut. ”Indonesia adalah negara besar dan merdeka. Jangan mau didikte Australia,” kata Indra.

M. Nurdin, anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, khawatir grasi Corby berdampak buruk bagi terpidana narkotik lainnya. Karena itu, komisinya akan meminta penjelasan kepada Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. ”Kalau pemerintah tidak bisa menjelaskan, ini menunjukkan indikasi adanya tebang pilih,” katanya.

Kebijakan SBY untuk Corby dinilai Sesat
Kuat dugaan, restu untuk pemberian grasi kepada Corby lantaran jajaran pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memahami prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani menuding, karena pembisik yang tidak paham aturan hukum sehingga kerap menimbulkan sesat kebijakan yang diambil Presiden SBY.

Keringanan hukuman atau grasi untuk terpidana 20 tahun penjara dalam kasus mariyuana, Schapelle Leight Corby, menimbulkan sejumlah pertanyaan. Pasalnya, warga negara Australia ini terbukti bersalah karena menyelundupkan ganja seberat 4,2 kilogram ke wilayah hukum Indonesia. Padahal, di ranah hukum Indonesia, ganja diklasifikasikan ke dalam narkotika golongan I, sehingga kepemilikan secara ilegal diancam sanksi pidana sangat berat.

Kuat dugaan, restu untuk pemberian grasi kepada Corby lantaran jajaran pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memahami prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia. Anggota Komisi III DPR RI Ahmad Yani menuding, karena pembisik yang tidak paham aturan hukum sehingga kerap menimbulkan sesat kebijakan yang diambil Presiden SBY. “Pembisik-pembisik di lingkungan hukum ini yang kadang-kadang menyesatkan Presiden. Oleh karena pembisik ini tidak paham hukum, maka mereka kerap menyesatkan kebijakan Pemerintah,” ujar Yani, di Jakarta, Rabu (23/5). Seperti dikutip gresnews.com

Lebih jauh Yani menyayangkan pernyataan Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin, yang seolah menyepelekan kasus kepemilikan narkoba jenis ganja dalam perkara Corby. “Pernyataan Menteri Hukum dan HAM terkait narkotika jenis ganja adalah argumentasi yang menyesatkan. Kendati narkotikanya hanya ganja, dalam hukum yang berlaku di Indonesia itu dilarang keras sehingga pengadilan menghukum dia selama 20 tahun penjara,” ujarnya.

Sebelumnya, Menkumham Amir Syamsuddin menyebut, dikabulkannya permohonan grasi dengan pengurangan masa hukuman terkait jenis narkoba yang dibawa Corby yakni ganja. “Di beberapa negara, sanksi pidana untuk pembawa (kurir) ganja tergolong sangat ringan. bahkan ada yang sudah menghapuskan sanksi pidana terhadap kasus terkait ganja,” ujar Amir.

Menanggapi dalih pemberian grasi Corby itu, imbuh Yani, mengindikasikan adanya tekanan politik dari pihak luar terhadap pemerintah. “Apabila pemberian grasi ini berlatar belakang tekanan dari pihak Australia, itu sama artinya kita sudah tidak lagi berdaulat di bidang politik,” tegas politikus PPP itu.

RI dalam Tekanan Diplomatik Australia
“Pemberian keringanan bagi Schapelle Corby menunjukkan betapa Pemerintah Australia menekan Indonesia, itu sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya. Seyogianya, upaya serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum untuk WNI (warga negara Indonesia) di luar negeri,” ucap Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung, di Jakarta, Rabu (23/5).

Terpidana kasus narkoba Schapelle Leight Corby mendapat keringanan hukuman atau grasi sebanyak lima tahun dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah Indonesia mestinya bisa berkaca dari pemberian keringanan hukuman bagi warga negara Australia itu. “Pemberian keringanan bagi Schapelle Corby menunjukkan betapa Pemerintah Australia menekan Indonesia, itu sebagai bentuk perlindungan terhadap warga negaranya. Seyogianya, upaya serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum untuk WNI (warga negara Indonesia) di luar negeri,” ucap Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung, di Jakarta, Rabu (23/5).

Dalam perkara hukum yang melibatkan Corby, imbuh Pramono, sudah jelas bahwa yang bersangkutan bisa dikategorikan sebagai ratu mariyuana. “Walaupun terlibat dalam sindikat pengedar mariyuana, Pemerintah Australia tanpa malu-malu memberikan perlindungan kepada warganya. Nah dalam konteks ini seharusnya pemerintah kita juga memberikan perlindungan yang sama kepada rakyatnya tanpa melihat persoalannya terlebih dahulu,” ucapnya.

Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi menyatakan, pemberian grasi terhadap Schapelle Corby itu ditempuh berdasarkan berbagai pertimbangan. “Kebijakan pengurangan masa hukuman itu dilakukan setelah Presiden mendengarkan pertimbangan dari Ketua Mahkamah Agung serta menteri-menteri terkait. Termasuk bagaimana warga kita di Australia mendapatkan perlakuan yang sama,” tegasnya.

Pramono menambahkan, dalam perkara yang sama, Pemerintah Indonesia terkesan lepas tangan. “Katakanlah ada WNI yang terlibat hal yang sama di luar negeri. Biasanya Pemerintah Indonesia lepas tangan. Jadi, kasus Corby ini merupakan pembelajaran bagi Pemerintah Indonesia untuk melakukan tindakan yang sama dalam memberikan perlindungan bagi warganya,” ujar politikus PDI Perjuangan itu.

Dalam tekanan?
Pramono menduga, pemberian grasi ini tidak terlepas dari pertimbangan hubungan diplomatik luar negeri Indonesia. “Sudah pasti ada tekanan, tidak mungkin tidak. Memberikan keringanan lima tahun hukuman penjara pasti berkaitan dengan hubungan diplomatik” kata Pramono.

Tidak mungkin Pemerintah Indonesia mau memberikan keringanan terhadap seseorang dengan kesalahan yang fatal sebagaimana kasus Corby. “Di mata internasional, kasus perdagangan narkoba merupakan kesalahan berat. Kasus ini sama beratnya seperti kasus terorisme serta perdagangan manusia,” urainya.

Sementara itu Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengungkapkan dikabulkannya permohonan grasi dengan pengurangan masa hukuman, juga terkait dengan alasan yang diajukan Corby. Selain itu narkoba yang dibawa Corby berjenis ganja, yang di sejumlah negara sanksi pidananya lebih ringan. “Di beberapa negara sanksi pidana untuk pembawa ganja ini bukan saja ringan, namun beberapa negara bahkan menghapuskan sanksi pidana terhadap kasus ganja ini,” ujarnya.

Amir berharap, dengan pemberian pengurangan masa hukuman terhadap warga Australia itu, pemerintah Australia juga melakukan hal yang sama terhadap warga Indonesia di Australia yang menghadapi masalah serupa. “Corby sudah menjalani hukuman tujuh tahun lebih. Jadi diharapkan kemudian ada perlakuan yang yang sama tehadap warga negara kita yang ditahan di Australia Utara. Terutama anak-anak, jumlahnya cukup banyak,” ujar Amir.

Sekadar mengingatkan, imigrasi dan kepolisian menangkap Schapelle Corby karena kedapatan membawa 4,2 kilogram ganja di Bandara Ngurah Rai, Bali, pada 8 Oktober 2004 silam. Dalam persidangan di PN Denpasar, Corby divonis selama 20 tahun penjara pada 27 Mei 2005. Dia juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp100 juta.

Pada 20 Juli 2005, Pengadilan Negeri Denpasar kembali membuka persidangan dalam tingkat banding dengan menghadirkan beberapa saksi baru. Kemudian pada 12 Oktober 2005, setelah melalui banding, hukuman Corby dikurangi menjadi 15 tahun.

Namun, pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung menghukum Corby dengan hukuman 20 tahun penjara dengan alasan bahwa narkotika yang diselundupkan ke Pulau Dewata termasuk kelas I atau tergolong berbahaya. MA juga menolak pengajuan Peninjauan Kembali (PK) kasus tersebut.

Selama menjalani masa hukuman, Corby memperoleh remisi sebanyak 25 bulan. Dengan perhitungan sudah ditahan sejak Oktober 2004, plus pengurangan 25 bulan dari remisi dan 5 tahun dari grasi, Corby akan selesai menjalani masa tahanan pada September 2017. Ia berhak mengajukan pembebasan bersyarat jika sudah menjalani 2/3 masa hukuman, sehingga diperkirakan dia bisa bebas pada Mei 2013.

Sumber:
http://www.al-khilafah.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar