Home

Juni 08, 2012

Kapitalisme Biang Kerok Kebobrokan Sistem Pendidikan


Hajatan tahunan pemerintah dalam bidang pendidikan, yakni Ujian Nasional (UN) tingkat SD hingga SLTA, baru saja usai. Penyelenggaraan UN tahun 2012 menelan biaya hingga Rp. 600 milyar lebih.

Tujuan penyelenggaraan UN itu untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 
1. Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan. 
2. Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya. 
3. Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; dan 
4. Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.


Penyelenggaraan Pendidikan: Sarat Masalah
Pelaksanaan UN itu sejak awal telah menimbulkan pro dan kontra. Pengadopsian UN sendiri lebih terlihat mengikuti pola evaluasi pendidikan ala barat, khususnya AS. Kepentingan UN dan pendidikan lebih banyak dilihat dari kaca mata makro secara rata-rata bukan melihat prestasi individu siswa. Selain itu, UN tidak fair, sebab, nasib siswa hanya diukur melalui ujian selama 4 hari dengan beberapa mata pelajaran tertentu saja. Akibatnya, mata pelajaran yang tidak masuk Ujian Nasional seperti dianak-tirikan dan dianggap tidak begitu penting.

Pengukuran kompetensi ala UN (termasuk UTS, UAS, dan ulangan harian) memang dapat mengetahui tingkat kemampuan siswa terhadap penguasaan materi pelajaran yang diberikan. Namun ternyata akibat dari adanya UN yang disertai pemberlakuan standar tertentu dan dijadikan penentu pokok kelulusan dan kenaikan kelas/tingkat membuat capaian nilai menjadi tujuan. Celakanya hal itu tidak hanya menimpa siswa tapi juga para guru dan pihak sekolah. Apalagi ketika prestasi bahkan pemberian bantuan dana dan prasarana dikaitkan dengan pencapaian nilai UN. Seolah-olah UN menjadi tujuan akhir dari proses pembelajaran. Segala cara pun dilakukan tanpa mengindahkan kejujuran, moral dan nilai-nilai luhur demi nilai UN dan ulangan yang tinggi.

Padahal seharusnya pembelajaran membuat siswa menguasai pengetahuan dan keahlian sehingga menjadi kompetensi yang melekat dan bisa dia aplikasikan dalam kehidupan dan dia kembangkan. Hal itu dibarengi dengan pendidikan yang diarahkan untuk merubah pola pikir dan perilaku siswa dan membentuknya kearah yang lebih baik. Sayangnya kurikulum yang ada belum bahkan tidak mengarah ke sana. Kurikulum yang ada lebih menekankan pada transfer pengetahuan. Tidak ada misi membentuk moral, karakter apalagi kepribadian siswa.

Rendahnya kualitas pembelajaran dan pendidikan itu juga diindikasikan oleh hasil laporan UNDP. Menurut laporan UNDP tahun 2011, peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Indonesia turun dari peringkat ke-108 pada 2010 menjadi peringkat ke-124 pada tahun 2011. Meskipun angkanya naik dari 0,600 (2010) menjadi 0,617 (2011), namun secara peringkat Indonesia turun 16 peringkat.
Semua masalah itu masih diperparah oleh masalah buruknya sarana prasarana pendidikan. Data Kemendikbud menyebutkan, ada sekitar 161 ribu sekolah rusak. Sekitar 45% dari gedung sekolah rusak tersebut mengalami rusak berat, dengan kemiringan lebih dari tujuh derajat dan mendekati 90 derajat, alias hampir rubuh.

Selain itu keberadaan guru juga belum merata. Rasio antara guru dan siswa sebenarnya sudah memadai, yaitu satu banding dua puluh (1:20). Tetapi, sebagian besar guru menumpuk di kota. Ada sekolah yang kelebihan jumlah gurunya dan ada sekolah yang hanya memiliki satu orang guru saja.(lihat,republika.co.id,15/4/2012).

Anggaran pendidikan yang mengalami peningkatan fantastis, terutama setelah UU menetapkan anggaran pendidikan 20% dari APBN, ternyata tidak serta merta problem pendidikan tuntas. Anggaran pendidikan di APBN-P 2011 Rp 266,9 triliun, jumlah itu sudah separuh dari total APBN tahun 2005, lalu naik menjadi Rp 289 triliun di APBN 2012 dan menjadi Rp 303 triliun di APBN-P 2012. Hanya saja jumlah itu tidak semuanya dikelola oleh Kemendikbud, tetapi jumlah itu didistribusikan ke belasan kementerian dan lembaga. Dari jumlah itu Rp 137 triliun lebih untuk gaji dan Rp 100 triliun lebih ditransfer ke daerah diantaranya untuk dana BOS. Jumlah dana BOS yang sudah ada sejak tahun 2005 itu, naik dari Rp 16 triliun (2011) menjadi 23 triliun (2012).

Dengan dana sebesar itu, nyatanya masih banyak anak yang tidak bisa menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Menurut anggota DPR RI Raihan Iskandar (26/12/12) dalam data tahun 2011 ada 10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib belajar 9 tahun. Juga ada sekitar 3,8 juta siswa yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Sebabnya adalah karena kemiskinan sehingga tidak punya biaya untuk sekolah.

Biang Keroknya: Kapitalisme
Semua problem itu bermuara pada diterapkan kapitalisme dengan prinsip 4 kebebasan (perilaku, pendapat, beragama dan kepemilikan). Kapitalisme berlandaskan akidah sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya pelajaran agama dan moral diajarkan di sekolah sekedar sebagai ilmu, bukan untuk dipedomani dan dijadikan panduan. Konon itu demi menjamin kebebasan.

Pendidikan dalam sistem kapitalisme tidak ditujukan membentuk kepribadian. Pendidikan justru dijadikan penopang mesin kapitalisme dengan diarahkan untuk menyediakan tenaga kerja yang memiliki pengetahuan dan keahlian. Akibatnya kurikulum disusun lebih menekankan pada pengetahuan dan keahlian tapi kosong dari nilai-nilai agama dan moral. Pendidikan akhirnya hanya melahirkan manusia robotik, pintar dan terampil tapi tidak religius dan tak jarang culas.

Demi menjamin kebebasan maka penyelenggaraan pendidikan tidak boleh diatur secara sentralistik dan harus sebanyak mungkin bersifat otonom. Disinilah kita bisa tahu kenapa kurikulum nasional “dibonsai” dan penentuan materi serta muatan program makin banyak diserahkan kepada pihak sekolah. Sekolah yang menentukan buku materi pengajaran yang digunakan, yang dalam prakteknya banyak terjadi perselingkuhan dengan penerbit dengan imbalan tertentu.

Otonomi yang diberikan juga mencakup pendanaan. Akibat kapitalisme, peran pendanaan oleh pemerintah harus makin berkurang dan sebaliknya pendanaan oleh masyarakat (orang tua siswa) makin besar. Sekolah berkualitas pun menjadi mahal. Akibatnya, terjadinya ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Orang miksin tidak bisa mendapat pendidikan berkualitas. Mereka tidak bisa mengembangkan potensi dirinya dan tetap terperangkap dalam kemiskinan. Masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Hanya orang menengah keatas yang bisa mengakses pendidikan berkualitas. Padahal sekolah seharusnya dapat menjadi pintu perbaikan taraf hidup bagi si miskin. Selain itujuga akan melanggengkan penjajahan.

Karena itu harus dilakukan reorientasi dan penataan kembali pendidikan mulai dari filosofi, tujuan dan kurikulum sampai ke manajemen pendidikan, metode pembelajaran, substansi pengajaran, pendanaan pendidikan, dan sebagainya. Pendidikan harus dibebaskan dari kapitalisme.

Islam Mengatur Pendidikan
Dalam Islam, hubungan Pemerintah dengan rakyat adalah hubungan pengurusan dan tanggung jawab. Negara (Khalifah) bertanggung jawab penuh dalam memelihara urusan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda:

Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Sebagai bagian dari ri’ayah itu maka pendidikan harus diatur sepenuhnya oleh negara berdasarkan akidah Islam. Pendidikan itu harus ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan dalam kehidupan. Hasilnya adalah orang-orang yang pintar, trampil dan berkemampuan sekaligus berkepribadian Islam dan berakhlak.

Islam menentukan penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Dasarnya karena Rasul saw menetapkan tebusan tawanan perang dari orang kafir adalah mengajari sepuluh orang dari anak-anak kaum muslim. Tebusan tawanan merupakan ghanimah yang menjadi hak seluruh kaum muslim. Diperuntukkannya ghanimah untuk menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis itu menunjukkan bahwa penyediaan pendidikan oleh negara untuk rakyat adalah wajib. Ijmak sahabat atas pemberian gaji kepada para pengajar/guru dari harta baitul mal lebih menegaskan hal itu.

Sumber dana untuk semua itu adalah dari pemasukan harta milik negara dan hasil pengelolaan harta milik umum, seperti tambang mineral, migas, hutan, laut, dsb. Rasulullah saw. bersabda: 

Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: padang, air dan api (energi). (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).

Dengan itu, maka pendidikan bermutu dengan gratis atau biaya sangat rendah bisa disediakan dan dapat diakses oleh seluruh rakyat. Hal itu memang menjadi hak mereka semua tanpa kecuali dan menjadi kewajiban negara.

Wahai Kaum Muslim
Dunia pendidikan yang sarat masalah saat ini hanya bisa dituntaskan dengan mencampakkan kapitalisme dan menerapkan syariah Islam secara total. Hanya dengan penerapan syariah dalam bingkai Khilafah Rasyidah saja, pendidikan bermutu bisa dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali baik kaya atau miskin, muslim atau non muslim. Karena itu saatnya dilipatgandakan upaya dan perjuangan untuk menerakan syariah dan menegakkan Khilafah Rasyidah. 

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar:
Pada Juli Kemendikbud akan menggelar uji ulang bagi guru yang sudah bersertifikasi atau lulus sertifikasi. Uji ulang ini untuk mendorong peningkatan kualitas guru dan mendorong guru untuk terus meningkatkan kualitas dirinya (kompas, 5/6)
1.     Evaluasi kinerja guru dilakukan seperti ala UN bagi siswa. Ini menunjukkan pemerintah hanya mementingkan nilai dan kurang memperhatikan proses.
2.     Sertifikasi sudah berlangsung sejak 2005, tapi belum terbukti kualitas pendidikan naik. Mestinya peningkatan kesejahteraan guru diikuti oleh perhatian atas peningkatan kualitas proses pembelajaran dan pendidikan.

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar