Ketahuilah bahwa memulai salam adalah sunnah yang dianjurkan, bukan kewajiban. Ini adalah sunnah kifayah: karena jika yang memberi salam itu jamaah, maka cukup salah seorang dari mereka saja yang mengucapkan salam. Jika mereka mengucapkan salam semuanya, maka itu lebih utama.
Imam al-Qadhi Husain, salah seorang imam dari kalangan sahabat kami dalam kitab as-Sair dari ta’liqnya, mengatakan, “Kita tidak memiliki sunnah kifayah selain ini.”
Aku katakan, Apa yang dikatakan oleh al-Qadhi berupa pembatasan tersebut ter-tolak. Karena, menurut para sahabat kami, mendoakan orang yang bersin adalah sunnah kifayah juga, sebagaimana yang akan dijelaskan sebentar lagi, insya Allah. Segolongan sahabat kami, bahkan semuanya berpendapat bahwa kurban adalah sunnah kifayah bagi setiap keluarga. Jika salah seorang dari mereka telah berkurban, maka syiar dan sunah telah diraih oleh mereka semua.
Adapun menjawab salam, jika yang diberi salam hanya satu orang, maka ia wajib menjawabnya sebagai fardhu ‘ain. Jika mereka jamaah, maka menjawab salam tersebut sebagai fardhu kifayah atas mereka. Jika salah seorang dari mereka telah menjawabnya, maka gugurlah dosa dari yang lainnya. Jika mereka semua tidak menjawabnya, maka mereka semua berdosa. Jika mereka semua menjawabnya, maka inilah puncak kesem-purnaan dan keutamaan. Demikianlah menurut para sahabat kami, dan ini yang jelas lagi bagus. Para sahabat kami bersepakat bahwa seandainya orang selain mereka yang menjawabnya, maka kewajiban menjawab salam tidak gugur dari mereka, tetapi mereka wajib menjawabnya. Jika mereka mencukupkan dengan jawaban orang asing tersebut, maka mereka berdosa.
Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dari Ali radiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
يُجْزِئُ عَنِ الْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوْا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ، وَيُجْزِئُ عَنِ الْجُلُوسِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ.
“Sudah cukup mewakili jamaah, ketika mereka melintas bila salah seorang dari mereka me-ngucapkan salam; dan sudah mewakili orang-orang yang duduk jika salah seorang dari mereka menjawabnya.”
Kami meriwayatkan dalam al-Muwaththa’ dari Zaid bin Aslam bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا سَلَّمَ وَاحِدٌ مِنَ الْقَوْمِ، أَجْزَأَ عَنْهُمْ.
“Jika salah seorang dari sekelompok orang mengucapkan salam, maka itu sudah mewakili mereka.”
Aku katakan, Ini hadits mursal yang sanadnya shahih.
Pasal
Imam Abu Sa’ad al-Mutawalli dan selainnya mengatakan, “Jika seseorang memanggil yang lainnya dari belakang tirai atau dinding dengan mengucapkan, “As-salamu ‘alaika ya fulan,” atau menulis surat yang di dalamnya berisi, “As-salamu ‘alaika ya fulan,” atau “As-salamu ‘ala fulan,” atau mengutus seorang utusan dengan mengatakan, “Sampaikan salam pada fulan,” lalu surat atau utusan itu telah sampai padanya, maka ia wajib men-jawab salamnya. Demikian pula al-Wahidi dan selainnya menyebutkan bahwa orang yang dikirimi surat wajib menjawab salam, jika ucapan salam sampai padanya.
Kami meriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan kepadaku,
هذَا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ. قَالَتْ: قُلْتُ: وَعَليْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
‘Ini Jibril mengucapkan salam kepadamu.” Aisyah berkata, “Aku menjawab, ‘Wa’alaihis salam warahmatullah wabarakatuh’.”
Demikian pula disebutkan di sebagian riwayat ash-Shahihain kata: wabarakatuh, dan di sebagian riwayat yang lainnya tidak disebutkan. Dan tambahan dari perawi yang tsiqah bisa diterima. Dalam kitab at-Tirmidzi juga disebutkan kata: wabarakatuh, dan dia menga-takan, “Hadits hasan shahih.”
Seseorang dianjurkan untuk mengirimkan salam kepada orang yang jauh darinya.
Pasal
Jika seseorang menitipkan salam pada seseorang kepada yang lainnya, lalu orang yang diutus tersebut mengatakan, “Fulan menyampaikan salam kepadamu,” maka, seba-gaimana telah kami kemukakan, bahwa ia wajib menjawab salamnya dengan segera. Dianjurkan pula agar menjawab salam kepada orang yang menyampaikannya juga dengan mengucapkan, “Alaika wa’alaihis salam.”
Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dari Ghalib al-Qaththan, dari seseorang, ia mengatakan, “Bapakku menuturkan kepadaku dari kakekku, ia ber-kata,
بَعَثَنِيْ أَبِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم، فَقَالَ: اِئْتِهِ، فَأَقْرِئْهُ السَّلاَمَ. فَأَتَيْتُهُ، فَقُلْتُ: إِنَّ أَبِي يُقْرِئُكَ السَّلاَمَ. فَقَالَ: عَلَيْكَ السَّلاَمُ وَعَلَى أَبِيْكَ السَّلاَمُ.
“Ayahku mengutusku kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengatakan, ‘Datanglah kepada beliau dan sampaikan salam kepada beliau.’ Aku pun datang kepada beliau lalu aku katakan, ‘Ayahku menyampaikan salam kepadamu.’ Beliau menjawab, ‘Alaikas salam wa’ala abikas salam’.”
Aku katakan, Meskipun ini riwayat dari orang yang tidak dikenal (majhul), namun telah kami kemukakan bahwa hadits-hadits fadha’il boleh diamalkan menurut semua ahli ilmu.
Pasal
Al-Mutawalli berkata, “Jika seseorang mengucapkan salam kepada orang tuli yang tidak bisa mendengar, maka hendaklah ia mengucapkan lafal salam karena dia memang mampu untuk itu dan berusaha mengisyaratkan dengan tangan hingga dipahaminya sehingga dia berhak untuk dijawab. Jika tidak menggabungkan di antara keduanya, maka ia tidak berhak untuk dijawab. Demikian pula seandainya orang yang tuli mengucapkan salam kepadanya dan dia hendak menjawabnya, maka hendaklah ia mengucapkan jawa-ban dengan lisan dan memberikan isyarat; agar bisa dipahami dan agar kewajiban men-jawab salam gugur darinya.”
Dia juga berkata, “Jika seseorang mengucapkan salam kepada orang bisu, lalu orang bisu tersebut mengisyaratkan dengan tangannya, maka gugurlah kewajiban darinya; karena isyaratnya berkedudukan sebagai kata-kata. Demikian pula seandainya orang yang bisu mengucapkan salam kepadanya dengan isyarat, maka ia wajib menjawabnya, berdasarkan apa yang telah kami sebutkan.
Pasal
Al-Mutawalli berkata, “Seandainya seseorang mengucapkan salam kepada anak kecil, maka ia tidak wajib menjawabnya; karena anak-anak tidak termasuk orang yang dibebani kewajiban.” Apa yang dikatakannya ini shahih. Tetapi adabnya dan yang dianjurkan ialah menjawabnya.
Menurut al-Qadhi Husain dan sahabatnya, al-Mutawalli, seandainya anak-anak mengucapkan salam kepada orang yang sudah baligh, apakah orang yang sudah baligh tersebut wajib menjawabnya? Mengenai hal ini ada dua pendapat yang bertumpu pada keshahihan keislamannya. Jika kita mengatakan, “Keislamannya shahih,” maka salamnya seperti salam orang yang sudah baligh, dan wajib menjawabnya. Jika kita mengatakan, “Keislamannya tidak shahih,” maka tidak wajib menjawab salamnya, tetapi dianjurkan. Aku katakan, Yang shahih dari dua pendapat tersebut ialah wajib menjawab salamnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu waTa`ala,
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَآ أَوْ رُدُّوهَآ
“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Adapun ucapan keduanya bahwa ini bertumpukan pada keislamannya, maka asy-Syasyi mengatakan, “Ini adalah landasan yang batil.” Dan ini sebagaimana yang dinya-takannya. Wallahu a’lam.
Seandainya orang yang sudah baligh mengucapkan salam kepada jamaah yang di antara mereka terdapat seorang anak kecil, lalu anak tersebut menjawabnya dan tidak ada selainnya dari mereka yang menjawabnya; apakah kewajiban gugur dari mereka? Mengenai hal ini ada dua pandangan: yang paling shahih -dan ini pendapat al-Qadhi Husain dan sahabatnya, al-Mutawalli- bahwa kewajiban tidak gugur dari mereka, karena anak tersebut bukan orang yang dibebani kewajiban, sementara menjawab salam adalah wajib. Jadi, kewajiban tidak gugur dengannya, sebagaimana halnya kewajiban untuk men-shalatkan jenazah tidak menjadi gugur dengannya. Kedua -dan ini pendapat Abu Bakr asy-Syasyi, penulis al-Mustazhhiri dari kalangan sahabat kami- bahwa kewajiban tersebut gugur, sebagaimana adzannya sah untuk orang dewasa dan kewajiban adzan gugur dari mereka. Aku katakan, “Adapun shalat jenazah, maka para sahabat kami berselisih tentang gugurnya kewajibannya dengan shalat yang dilakukan oleh anak-anak dalam dua pan-dangan yang masyhur: dan yang benar dari keduanya, menurut para sahabat kami, bahwa kewajiban tersebut gugur, dan asy-Syafi’i telah menuliskan hal itu secara tekstual.” Wallahu a’lam.
Pasal
Jika seseorang mengucapkan salam kepadanya, lalu sebentar kemudian ia bertemu dengannya, maka disunnahkan mengucapkan salam kepadanya untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, atau lebih. Hal ini disepakati oleh para sahabat kami. Dalil mengenai hal itu adalah:
Apa yang kami riwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu dalam hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya,
أَنَّهُ جَاءَ فَصَلَّى، ثُمَّ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم، فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَرَدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمَ، وَقَالَ: اِرْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. فَرَجَعَ فَصَلَّى، ثُمَّ جَاءَ، فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم … حَتَّى فَعَلَ ذلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.
“Bahwa ia datang lalu mengerjakan shalat, kemudian ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu mengu-capkan salam kepadanya, maka beliau menjawab salamnya dan mengatakan, ‘Shalatlah kembali, karena engkau belum shalat.’ Ia pun mengulangi shalatnya, kemudian ia datang untuk mengu-capkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam… hingga melakukan demikian sebanyak tiga kali.
Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,
إِذَا لَقِيَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ، فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ، فَإِنْ حَالَتْ بَيْنَهُمَا شَجَرَةٌ أَوْ جِدَارٌ أَوْ حَجَرٌ ثُمَّ لَقِيَهُ، فَلْيُسَلِّمْ عَلَيْهِ.
“Jika salah seorang dari kalian bertemu saudaranya, maka hendaklah mengucapkan salam kepadanya. Jika keduanya terpisah (sejenak) oleh pohon, dinding atau batu, kemudian ia bertemu lagi dengannya, hendaklah ia mengucapkan salam (lagi) kepadanya.”
Kami meriwayatkan dalam kitab Ibn as-Sunni dari Anas radiyallahu ‘anhu, ia menga-takan,
كاَنَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَتَمَاشَوْنَ، فَإِذَا اسْتَقْبَلَتْهُمْ شَجَرَةٌ أَوْ أَكَمَةٌ، فَتَفَرَّقُوْا يَمِيْنًا وَشِمَالاً، ثُمَّ الْتَقَوْا مِنْ وَرَائِهَا، سَلَّمَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ.
“Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (suatu kali) berjalan bersama-sama. Ketika mereka terhalang oleh pohon atau bukit, lalu mereka terpencar ke kanan dan ke kiri, kemudian mereka bertemu di balik (bukit) sana; maka satu sama lain mengucapkan salam.”
Pasal
Bagaimana jika dua orang bertemu, lalu masing-masing dari keduanya mengucap-kan salam kepada yang lainnya secara bersamaan, atau salah satunya sesudah yang lain-nya? Al-Qadhi Husain dan sahabatnya, Abu Sa’d al-Mutawalli berpendapat, “Karena masing-masing memulai salam, maka masing-masing dari keduanya wajib menjawab salam kepada sahabatnya.” Asy-Syasyi mengatakan, “Pendapat tersebut perlu ditelaah kembali. Karena lafal ini layak sebagai jawaban. Jika salah satu dari keduanya mengucap-kan salam sesudah yang lainnya, maka itu dinilai sebagai jawaban. Jika keduanya mengu-capkan salam secara bersamaan, maka itu bukan sebagai jawaban.” Apa yang dinyatakan oleh asy-Syasyi inilah yang benar.
Pasal
Bagaimana jika seseorang bertemu dengan orang lain, lalu orang yang memulai salam mengucapkan, “Wa’alaikumus salam?” Al-Mutawalli berkata, “Itu bukan salam, dan tidak berhak dijawab. Karena bentuk lafal ini tidak patut untuk memulai salam.
Aku katakan, Bagaimana jika ia mengatakan, “Alaika” atau “Alaikumus salam,” dengan tanpa wawu? Imam Abu al-Hasan al-Wahidi menegaskan bahwa itu adalah salam yang wajib dijawab oleh orang yang diberi salam, meskipun ia telah merubah lafal yang biasa dipergunakan. Apa yang dinyatakan oleh al-Wahidi ini cukup jelas. Imam al-Haramain juga menegaskannya, ia wajib dijawab; karena ia disebut salam.
Bisa juga dinyatakan bahwa hal itu sebagai salam, ada dua pandangan, sebagaimana dua tinjuan manurut sahabat kami tentang bila seseorang menutup shalatnya dengan: “Alaikumus salam; apakah sah sebagai penutup shalat ataukah tidak? Pendapat yang paling shahih bahwa itu sah.
Bisa juga dinyatakan bahwa ini tidak berhak dijawab dalam segala ke-adaan, berdasarkan apa yang kami riwayatkan dalam Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan selainnya dengan sanad shahih dari Abu Jara’y al-Hujaimi, yang seorang sahabat-yang namanya adalah Jabir bin Sulaim, dan ada yang mengatakan : Sulaim bin Jabir-. Ia menga-takan,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم، فَقُلْتُ: عَلَيْكَ السَّلاَمُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: لاَ تَقُلْ: عَلَيْكَ السَّلاَمُ، فَإِنَّ عَلَيْكَ السَّلاَمُ تَحِيَّةُ الْمَوْتَى.
“Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu aku mengucapkan, ‘Alaikas salam, ya Rasulallah.’ Beliau menimpali, “Jangan mengatakan, ‘Alaikas salam!’ Karena ‘alaikas salam’ adalah salam untuk orang yang sudah mati.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
Aku katakan, Mungkin makna hadits ini adalah dalam kapasitas menerangkan yang lebih baik dan lebih sempurna, dan berarti maksudnya, bahwa ini bukan salam. Wallahu a’lam.
Imam Abu Hamid al-Ghazali mengatakan dalam al-Ihya’, “Dimakruhkan memulai salam dengan mengucapkan, ‘Alaikumus salam,’ berdasarkan hadits ini.”
Yang dipilih ialah dimakruhkan memulai salam dengan lafal demikian, tetapi jika seseorang memulainya dengannya, maka wajib dijawab, karena itu adalah salam juga.
Pasal
Seseorang disunnahkan memulai salam sebelum segala ucapan. Hadits-hadits shahih dan amalan salaf serta khalaf umat ini yang selaras dengan hal itu cukup masyhur. Inilah yang menjadi sandaran berkenaan dengan dalil pasal ini.
Adapun hadits yang kami riwayatkan dalam kitab at-Tirmidzi dari Jabir radiyallahu ‘anhu adalah ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
السَّلاَمُ قَبْلَ الْكَلاَمِ
‘Salam dahulu sebelum berbicara (yang lain)’.”
Ini hadits dhaif. At-Tirmidzi menilai ini hadits munkar.
Pasal
Memulai salam adalah lebih utama, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits shahih,
وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ.
“Dan yang lebih baik dari keduanya ialah orang yang memulai salam.”
Oleh karena itu, hendaklah masing-masing dari dua orang yang bertemu berkeingin-an untuk memulai salam.
Kami meriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad bagus (jayyid) dari Abu Umamah radiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللهِ مَنْ بَدَأًهُمْ بِالسَّلاَمِ.
‘Sesungguhnya manusia yang paling utama (mendapat rahmat) Allah ialah orang yang memulai salam kepada mereka’.”
Dalam riwayat at-Tirmidzi dari Abu Umamah,
قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، الرَّجُلاَنِ يَلْتَقِيَانِ، أَيُّهُمَا يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ؟ قَالَ: أَوْلاَهُمَا بِاللهِ
“Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, dua orang bertemu, siapakah dari keduanya yang memu-lai salam?’ Beliau menjawab, ‘Yang lebih utama (dari rahmat) Allah dari keduanya’.” At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan.”
Ketahuilah bahwa kita diperintahkan untuk menyebarkan salam, sebagaimana telah kami kemukakan. Tetapi ini ditekankan di sebagian keadaan, diperkenankan di sebagian yang lain, dan (sebaliknya) dilarang di sebagian yang lainnya.
Adapun keadaan-keadaan yang ditekankan dan dianjurkan, maka tidak dapat dihitung; karena inilah hukum dasarnya. Jadi, kita tidak memaksakan diri mengemukakannya satu persatu.
Ketahuilah bahwa termasuk dalam masalah ini ialah mengucapkan salam kepada orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati. Dan telah kami kemukakan dalam kitab dzikir-dzikir berkenaan dengan jenazah tentang tata cara mengucapkan salam kepada orang yang sudah mati.
Adapun keadaan-keadaan yang dimakruhkan, tidak ditekankan atau mubah, maka ini dikecualikan darinya dan memerlukan penjelasan.
Di antaranya: Jika orang yang diberi salam sedang buang air kecil, bersetubuh atau sejenisnya, maka dimakruhkan diberi salam. Seandainya seseorang mengucapkan salam, maka salamnya tidak berhak dijawab. Termasuk di antaranya orang yang sedang tidur atau mengantuk. Juga orang yang sedang melaksanakan shalat, sedang mengumandangkan adzan atau iqamah, sedang berada di kamar mandi,… atau perkara-perkara sejenis-nya yang selayaknya tidak diucapkan salam. Termasuk di antaranya jika ia sedang makan, sementara makanan ada di mulutnya. Jika seseorang mengucapkan salam kepada orang lain dalam keadaan-keadaan ini, maka tidak berhak dijawab. Adapun jika ia sedang makan, sementara makanan tidak ada dalam mulutnya, maka tidak mengapa diberi salam dan wajib menjawabnya. Demikian pula pada saat jual beli dan semua muamalat, boleh mengucapkan salam dan wajib menjawab.
Adapun mengucapkan salam pada saat Khutbah Jum’at, maka para sahabat kami berpendapat, dimakruhkan memulai salam; karena mereka diperintahkan untuk mendengarkan khutbah. Jika ia menyelisihinya dan mengucapkan salam, apakah wajib dijawab? Mengenai hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan para sahabat kami. Di antara mereka ada yang berpendapat, salamnya tidak dijawab karena ia melakukan kelalaian. Sebagian yang lainnya ada yang berpendapat, jika kita mengatakan bahwa mendengarkan khutbah adalah wajib, maka kita tidak boleh menjawab salam tersebut. Jika kita mengatakan bahwa mendengarkan khutbah adalah sunnah, maka salah seorang dari hadirin wajib menjawabnya. Namun, tidak boleh lebih dari satu orang yang menjawabnya dalam keadaan apa pun.
Adapun mengucapkan salam kepada orang yang sibuk membaca al-Qur`an, maka Imam Abu al-Hasan al-Wahidi berpendapat bahwa yang terbaik ialah tidak menjawab salamnya karena ia sedang sibuk membaca al-Qur`an. Jika ia diberi salam, cukup menjawabnya dengan isyarat. Jika ia menjawabnya dengan kata-kata, maka ia mengulang isti’adzah kemudian kembali membacanya. Ini pernyataan al-Wahidi, dan pendapat ini perlu ditinjau kembali. Zahirnya bahwa ia diberi salam, dan wajib menjawabnya secara terucap.
Adapun jika ia sibuk dengan doa, larut di dalamnya, hatinya konsentrasi padanya, maka bisa dikatakan bahwa ia seperti orang yang sedang sibuk membaca al-Qur`an, sebagaimana yang kami sebutkan. Namun, menurutku, yang paling jelas mengenai hal ini adalah bahwa dimakruhkan mengucapkan salam kepadanya; karena ia berada dalam kepayahan dan kesulitan yang lebih berat daripada makan.
Adapun orang yang sedang bertalbiyah dalam ihram, maka dimakruhkan mengucapkan salam kepadanya; karena ia dimakruhkan untuk memutus talbiyah. Jika ia diberi salam, ia harus menjawabnya dengan lafal. Hal ini dituliskan secara tekstual oleh asy-Syafi’i dan para sahabat kami.
Pasal
Telah disebutkan keadaan-keadaan di mana salam dimakruhkan. Kami telah menjelaskan bahwa itu tidak wajib dijawab. Seandainya orang yang diberi salam ingin menjawab salam; apakah itu disyariatkan kepadanya, ataukah dianjurkan? Mengenai hal ini terdapat perincian.
Adapun orang yang sedang buang air kecil dan sejenisnya, ia dimakruhkan untuk menjawab salam. Kami telah mengemukakan hal ini di awal kitab.
Orang yang sedang makan dan sejenisnya, ia dianjurkan untuk menjawab salam, tetapi dalam posisi tidak wajib.
Sementara orang yang sedang shalat, ia diharamkan mengucapkan, “Wa’alaikumus salam.” Jika ia melakukan hal itu, maka shalatnya batal, jika ia mengetahui keharamannya. Jika tidak tahu, shalatnya tidak batal, menurut pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat yang berkembang di kalangan kami. Jika ia mengatakan, “Alaihis salam,” dengan lafal ghaibah (kata ganti orang ketiga), maka shalatnya tidak batal; karena ini doa, bukan khithab (percakapan). Namun, dianjurkan untuk menjawab salam dalam shalat dengan isyarat dan tidak melafalkan dengan kata-kata. Jika ia menjawabnya setelah selesai shalat dengan kata-kata, maka tidak mengapa. Wallahu a’lam.
Adapun muadzin, ia tidak dimakruhkan menjawab salam dengan lafal seperti biasanya; karena hal itu mudah, tidak membatalkan adzan dan tidak pula merusaknya.
Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta. Disadur oleh Yusuf Al-Lomboky
http://www.alsofwah.or.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar