Home

April 12, 2012

Sufyan Bin ‘Uyainah Rahimahullah: Kunikahi dia karena Agamanya


Orang alim ini dilahirkan pada tahun 107 H pada pertengahan bulan Syawwal, dan ajal menjemputnya pada hari Sabtu, 1 Rajab 198 H. Nasab lengkapnya, Sufyan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imran al Kufi. Dia dikenal dengan panggilan Abu Muhammad.

Ayahnya seorang pegawai pada masa Khalid bin Abdillah Al Qasri. Tatkala Khalid diberhentikan dari jabatan Gubernur Iraq dan digantikan oleh Yusuf bin Umar ats Tsaqafi, pejabat baru ini mencari-cari para staff pada masa pemerintahan Khalid, sehingga mereka berlarian untuk menyembunguikan diri. ‘Uyainah, Ayah Sufyan kecil, melarikan diri sampai ke kota Mekkah dan akhirnya memutuskan berdomisili disana.


Ketika ia menapak usia lima belas tahun, ayahku memanggil, seraya berpesan : “Wahai Sufyan! Masa kanak-kanak sudah lepas darimu, maka kejarlah kebaikan, supaya engkau termasuk orang-orang yang mengejarnya. Jangan tertipu dengan pujian orang-orang yang menyanjungmu dengan pujian yang Allah mengetahui, bahwa keadaanmu berlawanan dengan itu. Sebab, tidak ada orang yang berkata baik kepada orang lain tatkala ia sedang senang, kecuali ia akan berkata kejelekan kepadanya serupa ketika ia sedang dilanda amarah. Nikmati kesendirian daripada bergaul dengan kawan-kawan yang buruk. Jangan engkau alihkan prsangka baikku kepadamu kepada prasangka lain. Dan tidak akan ada orang yang berbahagia bersama dengan ulama, kecuali orang-orang yang mentaati mereka”.

Mendengar nasihat ayahnya ini Sufyan berkata dalam hati : ”Sejak itu, aku menjadikan pesan Ayah sebagai arah kompasku, berjalan bersamanya, tidak menyimpang darinya”.

Begitulah yang ia jalani. Sejak usia dini, ulama besar ini telah menyibukkan diri pada pendalaman ilmu din. Tepatnya pada tahun 119 H.

Ibnu ’Uyainah mengisahkan tentang dirinya : ”Aku keluar menuju masjid, dan aku melihat-lihat halaqah-halaqah (majlis ilmu) yang ada. Bila aku lihat ada kumpulan ulama dan orang-orang tua, maka aku menghampirinya”.

Dia menceritakan: ”Aku duduk di majlis ilmu Ibnu Syihab dalam usia enam belas tahun tiga bulan”.
Salah satu yang menunjukkan keberuntungannya, sebanyak delapan puluh ulama besar dari kalangan tabi’in sempat ia jumpai. Misalnya, ’Amr bin Dinas, az Zuhri, Muhammad bin al Munkadir, al A’masy, Sulaiman at Taimi, Humaid ath Thawil.

Tentang kekuatan hafalannya, ia berkata, ”Aku tidak pernah menulis sesuatu, kecuali sudah aku hafal sebelum aku menuliskannya.”

Tak pelak, berkat pergaulannya dengan ulama-ulama besar, telah membentuk dirinya menjadi pribadi yang teguh, luas ilmunya dan mendalam. Ia menjadi nara sumber dalam berbagai permasalahan dan tempat curahan isi hati.

Yahya bin Yahya an Naisaburi menceritakan: ”Suatu hari, ada seorang lelaki mendatangi Sufyan dengan berkata : ’Wahai , Aba Muhammad (yang dimaksud adalah Sufyan). Aku ingin mengadukan kepadamu tentang keadaan istriku. Aku menjadi lelaki yang paling hina dan rendah dimatanya”.

Maka Sufyan menggeleng-gelengkan kepala heran, dan kemudian berujar : ”Mungkin, keadaan itu muncul karena engkau menikahainya untuk meraih kehormatan?”

Lelaki itu pun mengakuinya: ”Ya, betul wahai Aba Muhammad”.

Sufyan lalu berpesan: ”Barang siapa pergi karena mencari kehormatan, niscaya akan diuji dengan kehinaan. Barangsiapa mengerjakan sesuatu lantaran dorongan harta, niscaya akan diuji dengan kefakiran. Barang siapa bergerak karena dorongan din, niscaya Allah akan menghimpun kehormatan dan harta bersama dinnya”.
Berikutnya, Sufyan mulai berkisah :

”Kami adalah empat bersaudara, Muhammad, Imran, Ibrahim, dan aku sendiri. Muhammad adalah kakak sulung., Imran anak bungsu. Sedangkan aku berada di tengah-tengah. Tatkala Muhammad ingin menikah, ia menginginkan kemuliaan nasab. Maka ia menikahi wanita yang lebih tinggi status sosialnya. Kemudian Allah mengujinya dengan kehinaan.

Sedangkan Imran, (saat menikah) ingin mendapatkan harta. Maka ia menikahi wanita yang lebih kaya dari dirinya. Allah kemudian mengujinya dengan kemiskinan. Keluarga wanita mengambil seluruh yang dimilikinya, tidak menyisakan sedikitpun.

Aku pun merenungkan nasib keduanya. Sampai akhirnya Ma’mar bin Rasyid datang menghampiriku. Aku pun berdiskusi dengannya. Aku ceritakan kepadanya peristiwa yang menimpa para saudaraku. Ia mengingatkanku dengan hadits Yahya bin Ja’daj dan hadits ’Aisyah.

Hadits Yahya bin Ja’dah yang dimaksud, yaitu sabda Nabi Shollallahu ’alayhi wa sallam:
”Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, status sosialnya, kecantikannya dan din (agama)nya. Carilah waniya yang beragama, niscaya tanganmu akan beruntung”.

“Wanita dinikahi karena empat perkata: karena hartanya, status sosialnya, kecantiaknnya dan dinnya. Carilah wanita yang beragama, niscaya tanganmu akan beruntuk”.

Sedangkan hadits ’Aisyah, Nabi Shollallahu ’alayhi wa Sallam bersabda :
“Wanita yang paling besar berkahnya adalah wanita yang paling ringan beban pembiayaannya”.
Maka, aku memutuskan untuk memilih bagi diriku (wanita yang) memiliki din dan beban yang ringan untuk mengikuti Sunnah Rasulullah Shollallahu ’alayhi wa sallam. Allah menghimpunkan bagiku kehormatan dan limpahan harta dengan sebab agamanya”.

Itulah salah satu hikmah yang muncul dari lisannya. Tidak sedikit untaian hikmah dari Sufyan yang mencerminkan kedekatannya dengan Al Khaliq, Allah Subhaanahu wa Ta’Ala.

Sufyan bin ’Uyainah pernah ditanya tentang hakikat wara’, Dia pun menjelaskan, wara’ adalah keinginan untuk mendalami ilmu din yang menjadi sarana untuk mengenal seluk-beluk wara’. Sebagian orang menganggap sikap wara’ tercermin pada sikap diam dalam waktu yang lama dan sedikit bicara, padahal tidak demikian. Menurut kami, sesungguhnya orang yang berbicara lagi alim, itu lebih afdhal dan lebih wara’ dibandingkan lelaki yang jahil lagi diam.

Sufyan bin ’Uyainah juga memiliki hikmah yang menunjukkan kedalaman ilmunya. Dia menyatakan, permisalan ilmu adalah bagaikan negeri kufur atas negeri Islam. Apabila penganut Islam meninggalkan jihad, niscaya orang-orang kafir akan datang dan mengambil Islam. Jika orang-orang meninggalkan ilmu, maka mereka menjadi manusia-manusia bodoh.

Tentang pentingnya menyampaikan ilmu yang sudah diketahui, dia berkata : ”Tidaklah disebut (sebagai) alim orang yang mengetahui kebenaran dan kejelekan. Tetapi, orang alim sejati ialah orang yang mengetahui kebaikan dan mengikutinya, serta mengetahui kejelekan dan menjauhinya”.

Semoga Allah menganugerahinya dengan rahmat yang luas dan menempatkannya di surga-Nya yang tertinggi.
***
Diambil dari: Majalah As-Sunnah Edisi 10/IX/1426H/2005M
Sumber: Tahdzibul Kamal fi Asma-i ar Rijal (3/223-228) karya Aal Hafizh Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf al Mizzi, tahqiq Basyyar Awwad Ma’ruf, Muassasah ar Risalah, Cetakan 1 Tahun 1418 H – 1998 M.

Sumber:
http://muslimahzone.com/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar