Home

April 29, 2012

Persis di Israel! Wapres Boediono “Ngatur” Suara Azan

 

Niatan Wapres Boediono yang ingin supaya ketinggian volume pengeras suara saat mengumandangkan azan direndahkan agar terdengar sayup-sayup, langsung mengundang reaksi pro dan kontra dari berbagai pihak. Sejumlah pihak menilai Boediono sebagai orang yang “jahil dalam syariat Islam” (bodoh atau tidak memahami syariat Islam, red.) yang mengatur soal suara azan itu sendiri. Karena Rasulullah SAW menganjurkan agar suara azan harus keras bukan sayup-sayup, berdasarkan hadits Nabi SAW: “Tidaklah mendengar suara muadzin bagi jin dan manusia serta (segala) sesuatu, kecuali memberikan kesaksian untuknya pada hari Kiamat.” [HR Al Bukhari].

Sebelumnya KabarNet telah memberitakan tentang hal ini [Klik Disini] terkait permintaan Wapres Boediiono kepada organisasi Dewan Masjid Indonesia untuk mulai membahas dan mengatur tata tertib penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Menurut Boediono, apa yang dirasakan olehnya mungkin juga dirasakan oleh orang lain, yakni suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh pasti terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga.

Mengenai apa yang disampaikan Wapres tersebut, sebenarnya aturan soal pengeras suara itu sudah sejak lama diatur oleh Kementerian Agama (Kemenag). Sebagaimana dikutip detikcom dari situs bimasislam.kemenag.go.id, Jumat (27/4/2012), aturan itu sudah ada 1978. Soal pengeras suara itu diatur dalam instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam).

Terkait pengaturan pengeras suara di masjid-masjid sudah diatur dalam keputusan Dirjen Bimas Islam nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditandatangani oleh Dirjen Bimas Islam saat itu, Kafrawi, pada tanggal 17 Juli 1978.

Aturan Dirjen Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain sebagai berikut di bawah ini:

1. Perawatan penggunaan pengeras suara dilakukan oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.

2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar, selain juga menjengkelkan.

3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri karena tidak mentaati ajaran agamanya

4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Bahkan di dalam instruksi Dirjen Bimas Islam tersebut juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara, baik suara ke dalam ataupun suara yang diarahkan keluar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu solat.

Akan halnya “cawe-cawe” terhadap volume suara azan yang dilakukan oleh Wapres Boediono, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), M.Arwani Thomafi, menilai tindakan tersebut terlalu berlebihan. Menurutnya, masih banyak tantangan bagi umat Islam di Indonesia, ketimbang mengatur suara azan. “Apakah suara azan itu mengganggu? Perlu diketahui bahwa lantunan azan juga mencerminkan ekspresi keberagaman seseorang. Apakah kemudian ekspresi keberagaman lainnya juga diatur? Sebaiknya, Wapres fokus bagaimana memajukan umat Islam, daripada hanya mengatur suara azan,” tandasnya, Jumat (27/4/2012).

Selanjutnya M.Arwani Thomafi mengingatkan bahwa masih banyak persoalan bangsa ini yang memerlukan perhatian pemerintah. Untuk itu, pihaknya meminta agar Wapres Boediono mengklarifikasi pernyataannya. “Karena, hal ini bisa melukai hati umat Islam Indonesia.” kata Arwani mengingatkan.

Terkait ucapan Wapres Boediono tentang usulan pengaturan tinggi rendahnya pengeras suara yang mengumandangkan azan, mengingatkan kita kepada suasana di wilayah pendudukan Palestina. Di wilayah itu rezim penjajah zionis Israel melakukan pengaturan ketat soal azan ini dengan alasan suara azan mengganggu warga. Padahal suara azan sudah berkumandang di wilayah Palestina dan juga di Indonesia sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar