Home

April 27, 2012

Pelecehan Terhadap Perempuan

 
Belakangan ini santer terdengan berita tentang pelecehan seksual terhadap perempuan. Ada pemerkosaan di angkot, pelecehan di Bis kota, Kereta api, dan sebagainya. Alamikah fenomena ini? Atau ada fenomena ’sebab-akibat’ yang menyertainya?

Banyak tanggapan yang mucul terhadap fenomena tesebut. Gubernur DKI Fauzi Bowo misalnya, mengaitkan faktor penyebab perkosaan adalah pakaian sebagaian besar perempuan yang ’menantang’ libido pria, "Coba bayangkan yang duduk di depan perempuan itu, bagaimana reaksinya melihat ada perempuan pakai rok mini, rada gerah juga kan..," paparnya.

Pernyataan ini tentu membuat gerah  para aktivis gender. Mereka memprotes pernyataan Fauzi bowo dengan menyatakan bahwa perkosaan didak ada sangkut pautnya dengan rok mini. Bahkan Komisioner Komnas Perempuan, Neng Dara Affiah, misalanya menegaskan Pakaian bukanlah faktor penyebab pemerkosaan di tempat umum. Ia mencontohkan, Di Bali, orang merasa aman dan nyaman meski 'telanjang' di depan umum.

Benarkah demikian?. Mari kita kaji secara medalam. Fenomena pelecehan seksual terhadap perempuan mengindikasikan betapa sakitnya kondisi masyarakat saat ini. Tentu kasus ini tidaklah berdiri sendiri, melainkan ada kaitanya dengan yang lain termasuk dengan fola pikir dan perilaku masyarakat.

Jika ditelusuri, asal muasal kasus eksploitasi terhadap perempuan adalah reposisi peran dan fungsi perempuan itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai gagasan Kesetaraan Gender. Gagasan yang diusung kaum liberalis dan para Feminis ini menghendaki agar kaum perempuan diberi hak-hak setara dengan laki-laki (gender equality). Perempuan harus dibebaskan dari diskriminasi, dari beban-beban yang menghambat kemandirian, sekalipun dengan cara mereduksi nilai-nilai budaya dan agama. Beban itu antara lain perannya sebagai ibu: hamil, menyusui, mendidik anak dan mengatur urusan rumah tangga.  lantas berbondong-bondonglah kaum perempuan meninggalkan kodratnya. Mereka berlomba mensejajarkan diri dengan laki-laki. Namun apa daya, begitu mereka memasuki ranah publik, ekploitasi habis-habisan atas diri merekalah yang terjadi.

Mereka menjadi obyek eksploitasi sistem Kapitalisme yang memandang materi adalah segalanya. Para perempuan ini, sadar dan tidak, menjadi ujung tombak dalam sistem ekonomi Kapitalisme. Model, salespromotion girlpublic relation hingga profesi sebagai pelobi hampir senantiasa berada di pundak kaum perempuan. Mereka menjadi umpan dan bahkan sekadar “gula-gula” dalam mendatangkan pundi-pundi rupiah.

Dengan dalih kebebasan berekspresi, setiap inci tubuh perempuan dijadikan komoditi. Membuka aurat, bahkan sampai adegan berzina pun dilakoni, asal mendatangkan materi. Aurat perempuan dilombakan dan dinilai, mana yang paling mendatangkan hoki. Anehnya, dengan penuh kesadaran, kaum perempuan antre minta diekploitasi; bahkan semakin hari kian menggila. Tak hanya perempuan dewasa, gadis-gadis ABG, sejak belia sudah mulai “dikader” untuk menjadi bagian dari bisnis eksploitasi ini. Lihat saja, di layar kaca, bintang sinetron, iklan atau penyanyi bertaburan artis-artis cilik.

Di sisi lain, perempuan terdidik yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi turut terjebak dalam lingkaran eksploitasi. Tenaga dan pikiran mereka diperas habis-habisan untuk menggerakkan roda-roda perekonomian. Pergi pagi pulang petang, atau bahkan malam, adalah rutinitas para perempuan modern ini.

Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di gedung-gedung perkantoran nan menjulang tinggi daripada memasak di rumah. Mereka lebih asyik bercengkerama dengan relasi di kafe daripada mendidik anak kandungnya sendiri di rumah. Mereka lebih intens berinteraksi dengan bos di kantornya daripada suami di rumah. Begitukah hakikat persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan?

Agaknya, tuntutan untuk menggapai hak-hak perempuan dengan meninggalkan agama justru menjadi bumerang. Perempuan-perempuan yang haus akan eksistensi diri itu makin kehilangan jatidirinya. Alih-alih mendapat kemuliaan diri, mereka malah menjadi santapan empuk para lelaki hidung belang.

Eksistensi perempuan di ranah publik semakin memurukkan posisi mereka dalam kubangan libido laki-laki. Para pria lemah yang miskin iman ini seolah berkata, “Lihatlah mereka, kaum perempuan itu, memuaskan libido kita dengan menanggalkan kodrat dan pamer aurat.” Jangan heran jika banyak perempuan yang dilecehkan atau yang paling mending dijadikan selingkuhan dan istri simpanan.

Untuk menjamin terbebasnya perempuan dari eksploitasi, tentu caranya bukan dengan mengekang hak-hak perempuan. Perempuan bebas berkiprah di ranah publik. Mereka memlikik hak dan kewajiban menuntut ilmu sama halnya dengan kaum laki-laki. Mereka juga boleh pula mengaplikasikan ilmunya di berbagai lapangan kehidupan selama tidak membahayakan harkat dan martabatnya sebagai perempuan. Ya, mereka bebas berkiprah di bidang apa saja yang mereka suka selama menjaga diri dan kehormatannya. Hanya saja, kodrat sebagai perempuan yang kelak menjadi ibu dan pendidik anak-anak tetaplah yang paling utama.

Jadi, tergambar nyata bahwa penerapan kapitalisme lah pangka dari ini semua. perempuan tidak akan pernah bisa bebas dari ekploitasi dan plecehan selama sistem yang tegak saat ini adalah sistem Kapitalisme. Sistem ini terbukti gagal mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, bahkan semakin menjerumuskan kaum perempuan pada kemunduran dan pelecehan. Allahu a’lam [fr]
 
Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar