Diskursus tentang wafat dan kebangkitan Nabi Isa Al-Masih merupakan pembicaraan yang bersifat normatif dan sudah menjadi sebuah keyakinan antara pemeluk agama di dunia ini. Memperdebatkan apakah Nabi Isa masih hidup hingga sekarang ini ataukah sudah wafat adalah suatu perdebatan yang cukup melelahkan, sedangkan memperuncing perdebatan kedua keyakinan yang kontroversial ini dapat menimbulkan gesekan-gesekan yang luar biasa, paling tidak akan menimbulkan kebencian atau ketidakharmonisan antara pemeluk agama.
Oleh sebab itu, persoalan wafat atau tidaknya Nabi Isa alaihissalam telah dikemas menjadi sebuah keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama, terutama antara umat Islam, Kristiani, Yahudi.
Islam memandang bahwa Nabi Isa alaihissalam tidak wafat dan masih hidup hingga sekarang ini. Dengan tegas Allah telah membantah kewafatan beliau dengan firman-Nya : Dan karena ucapan mereka : “Sesungguhnya kami telah membunuh Almasih, Isa putra Maryam, Rasul Allah”, padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa di antara mereka. (QS. An-Nisa’ : 157) Tetapi sebenarnya, Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’ : 158)
Sejalan dengan ayat di atas, Nabi Muhammad Saw bersabda kepada orang-orang Yahudi : Sesungguhnya Nabi Isa tidak wafat, dan sesungguhnya dia akan kembali kepadamu sebelum hari kaiamat.
Ibnu Kasir mengatakan hadis-hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Isa akan turun dari langit menjelang hari kiamat, dan akan melaksanakan hukum Allah dengan seadil-adilnya, adalah hadis-hadis shahih, atau kesahihan hadis-hadis tersebut tidak perlu diragukan lagi, bahkan telah mencapai derajat mutawatir. (lihat Ibnu Kasir 4 : 132)
Lebih tegas lagi, Alquran menjelaskan bahwa turunnya Nabi Isa menjelang hari kiamat adalah tanda hari kiamat semakin dekat. Sama halnya dengan tanda-tanda kiamat yang lain, seperti kluarnya Dajjal, terbit matahari di sebelah Barat, dan lain-lain. Allah Swt berfirman : Dan sesungguhnya (turunnya) Isa itu pertanda akan datangnya hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku. Inilah jalan yang lurus. (QS. Az-Zukhruf : 61)
Sedemikian jelasnya sikap Islam memandang keadaan Nabi Isa alaihissalam, untuk dijadikan sebuah keyakinan, lebih dari itu, keyakinan bukan hanya sebatas keyakinan, akan tetapi keyakinan adalah merupakan persaksian yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Seseorang yang telah meyakini bahwa Allah Swt Maha Kuasa, Maha Esa, tidak cukup hanya sekadar meyakini, akan tetapi diwujudkan dalam bentuk persaksian yaitu dengan menyembah, tidak durhaka dan tidak melawan-Nya.
Jika tidak demikian, keyakinannya belum dianggap sebagai keyakinan yang benar, karena di dalam keyakinannya masih tersimpan kepura-puraan. Akan halnya merayakan hari Paskah bagi uamt Kristiani adalah sebagai keyakinan bagi mereka dan wujud persaksian mereka atas wafatnya Isa Almasih, dan untuk mengekspresikan kebahagiaan tersebut mereka ucapkan “Selamat Hari Paskah” antar sesama mereka yang merayakan dan yang tidak ikut merayakan. Semua itu diekspresikan atas dasar keyakinan yang telah terpatri dalam lubuk hati yang mendalam.
Yang meggelitik hati kita adalah, jika umat Islam ikut merayakan Paskah, mengucapkan “Selamat Paskah” yang notabenenya mempunyai keyakinan berbeda dengan mereka, apakah keikutsertaan mereka dalam perayaan tersebut sekadar ikut-ikutan, atau ucapan “selamat” bagi mereka hanya sekadar basa-basi (mujamalah) ataukah mengucapkan “selamat” bagi mereka merupakan toleransi beragama, jika tidak merupakan pelecehan terhadap akidah Islam itu sendiri.
Keikutsertaan orang-orang awwam dalam perayaan-perayaan agama non-muslim seperti hari Paskah, kemungkinan didasari atas ketidaktahuan atau jika itu dilakukan, sikap mereka tidak akan dipedomani oleh orang Islam lain.
Karena boleh jadi mereka mengikutinya atas dasar ikut-ikutan, spontanitas, tanpa pertimbangan apapun, apalagi berdasarkan keyakinan yang mendalam. Akan tetapi jika hal yang sama muncul dari tindakan, ucapan, sms dari seorang tokoh agama Islam yang menjadi panutan dan tempat bertanya, bahkan mengatasnamakan lembaga, Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, siapa lagi yang menjadi penutan umat dalam hal keyakinan dan akidah mereka, lalu keyakinan yang model apa yang harus dianut di negeri yang mayoritas muslim ini?
Bukan berarti jika orang awwam ikut serta merayakan hari Paskah, atau mengucapkan “Selamat Paskah” dapat dibenarkan dalam Islam, hukumnya tetap haram dan dapat mencemari keyakinannya sebagai seorang muslim.
Namun mudharatnya jika dibanding dengan seorang tokoh agama Islam yang ikut-ikutan merayakan Paskah dan mengucapkan “Selamat Paskah” tidak sebanding, karena bagi orang awwam perbuatan yang masih layak dilakukan oleh mereka, dalam waktu yang sama belum tentu layak dilakukan oleh orang-orang cukup terhormat.
Di kalangan orang-orang Sufi dikenal ungkapan “Sayyiatul abrar hasanatul muqarrabin” (buruk bagi orang-orang terhormat, masih baik di kalangan orang-orang biasa).
Oleh sebab itu Islam sangat selektif terhadap persoalan akidah, tidak dibenarkan mencampuradukkan yang hak dan yang batil. Allah Swt berfirman : Dan janganlah kamu campur-adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 42)
Mungkin sebahagian orang beralasan untuk membenarkan terlibatnya umat Islam di dalam upacara keagamaan non-muslim sebagai wujud dari toleransi keberagamaan. Sejatinya Islam sangat toleransi terhadap agama lain selagi berkaitan dengan interaksi sesama manusia (muamalah).
Adapun dalam persoalan ibadah atau akidah, keyakinan, Islam cukup tegas dengan prinsip “lakum dînukum waliadîn” (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Karena toleransi dalam bidang ibadah dan akidah tidak menguntungkan kedua belah pihak baik dari segi keduniaan maupun akhirat.
Sekali lagi Islam memandang keikutsertaan umat Islam menghadiri upacara keagamaan non- muslim, seperti perayaan Paskah baik terlibat langsung atau mengucapkan selamat via surat atau sms atau email, face book dan sebagainya, hukumnya haram dan perbuatan tersebut dikelompokkan kepada menghadiri atau mempersaksikan suatu kebohongan dan kebatilan.
Allah Swt berfirman : Dan (hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah) orang-orang yang tidak menghadiri kebohongan. (QS. Al-Furqân : 72)
Kalimat “la yasyhadûnazzûra” di dalam surat Al-Furqân ayat 72 di atas, ditafsirkan oleh Ibnu Taymiyah “tidak menghadiri kebohongan” bukan “tidak menghadirkan kesaksian palsu”. Sedang kata “zûr” di dalam ayat tersebut diartikan oleh sebahagian ulama tabi’in seperti Adh-Dhahak, Mujahid, Rabi’ bin Anas, dan Ikrimah adalah “hari-hari besar kaum musyrikin atau kaum jahiliyah sebelum Islam.
Akhirnya, merayakan hari besar agama non muslim bagi umat Islam, baik dengan cara terlibat langsung atau tidak langsung, seperti surat, sms, email, face book, telephon dan lain sebagainya hukumnya haram. Wallahua’lam bil ash-shawab *****
(H.M. Nasir, Lc., MA : Penulis adalah Pimpinan Pondok Pesantren Tahfiz Alquran Al Mukhlisin Batubara, Pembantu Rektor IV Universitas Al Washliyah (UNIVA) Medan, Ketua Majelis Ta’lim & Zikir Ulul Albab Sumut )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar