REPUBLIKA.CO.ID, FLORIDA - Fobia Islam kembali subur di Amerika Serikat. Belum lama ini, seorang bocah ditarik jilbabnya oleh rekan satu sekolah mereka, hingga lehernya terluka. Akankah Muslimah menanggalkan jilbabnya?
Saba Al-Khataria menggeleng. Penerima beasiswa Fulbright asal Yaman ini justru mengaku bangga mengenakan selendang menutupi kepala dan lehernya. "Saya nyaman dengan pakaian ini," kata gadis yang mengajar bahasa Arab di Universitas Stetson dan mengambil beberapa kursus. Ia pagi itu berbicara dalam diskusi panel tentang "Perempuan dalam Islam" dan pengalaman pribadi mereka di kampus.
"Saya dapat menemukan banyak cara untuk menjadi cantik dengan tetap berjilbab," kata lajang 26 tahun. Resepnya, dengan memakai warna favoritnya. "Untuk terlihat cantik, saya tidak harus menunjukkan tubuh saya menjadi seksi."
Al-Khataria, yang akan segera menyelesaikan tugasnya dan kembali ke negeri asalnya menyatakan, ia ingin orang "untuk melihat pikiran saya, bukan tubuh saya."
Dia mengatakan sempat gamang saat ruangan yang penuh dengan mahasiswa di Uni Carlton pada hari Selasa saat pertama dia datang ke Stetson. Dia takut orang akan berpikir ia adalah seorang teroris atau "melihat saya sebagai alien".
"Saya mencintai jilbab saya. Saya sangat bangga menjadi seorang Muslim," katanya. "Ini sangat berarti bagi saya."
Minggu kedua, katanya, ia menyadari "orang-orang tidak melihat saya dan orang-orang pemahaman yang lebih dan berpikiran terbuka."
Ia meminta publik untuk melihat gaya berbapakain seperti halnya musik yang berbeda. "Tuhan menciptakan kita dengan bahasa yang berbeda dan warna yang berbeda. Ini sangat menarik," katanya.
Al-Khataria tampil sebagai pembicara bersama dua perempuan berjilbab lainnya, termasuk seorang mahasiswa di Stetson University dan University of Central Florida. Mereka mengatakan komunitas kampus lebih terbuka menerima perbedaan, ketimbang di bandara atau di tempat umum dimana orang-orang kerap bersikap kasar atau menatap penuh curiga.
Para wanita mengatakan mereka hanya ingin orang-orang memahami budaya mereka dan agama Islam. Tiga wanita ini mengatakan mereka tidak tertindas, mereka memakai jilbab mereka sebagai pilihan dan tidak akan dihukum jika mereka memilih untuk tidak menutupi rambut mereka.
Al-Khataria mengatakan, agama Islam memberikan wanita banyak hak. Dia mengatakan mereka dapat bekerja dan menyimpan semua uang yang mereka peroleh, sedangkan kewajiban mencukupi kebutuhan rumah tangga ada pada pria. "Muslimah menjadi seperti ratu atau putri," ia tertawa.
Mahdiya Fazel, 20, seorang mahasiswa tingkat dua Universitas Stetson dan presiden dari Himpunan Mahasiswa Islam, datang ke AS sekitar lima tahun yang lalu dari Afrika Timur. Dia dan keluarganya tinggal di Lake Mary.
Fazel mengatakan dia memilih untuk memakai jilbab karena dia suka yang unik. Dia mengaku tak terganggu kendati dia dan keluarganya selalu berhenti di bandara untuk pemeriksaan acak.
Fazel mengatakan sebelum diskusi panel bahwa beberapa temannya telah mengatakan lelucon teroris, tapi baginya tak terlalu dianggap serius.
Masuma Virji, 34, seorang mahasiswa di University of Central Florida dan direktur Amerika Muslim Foundation di Lake Mary, mengatakan dia lahir di Kuwait dan pergi ke Inggris dengan orangtuanya selama Perang Teluk sebagai pengungsi. Salah satu dari tiga putrinya dipindahkan ke sebuah sekolah Islam swasta karena dia selalu pulang dalam kondisi menangis karena dilecehkan teman-temannya.
Dia mengatakan jilbab adalah simbol dari kerendahan hati . Dalam islam, Muslimah masih bisa memiliki "selera mode" seperti memakai sepatu hak tinggi atau gaya yang berbeda.
"Ini lebih penting untuk mendefinisikan diri siapa Anda, bukan oleh apa yang Anda kenakan," kata Virji.
"Saya dapat menemukan banyak cara untuk menjadi cantik dengan tetap berjilbab," kata lajang 26 tahun. Resepnya, dengan memakai warna favoritnya. "Untuk terlihat cantik, saya tidak harus menunjukkan tubuh saya menjadi seksi."
Al-Khataria, yang akan segera menyelesaikan tugasnya dan kembali ke negeri asalnya menyatakan, ia ingin orang "untuk melihat pikiran saya, bukan tubuh saya."
Dia mengatakan sempat gamang saat ruangan yang penuh dengan mahasiswa di Uni Carlton pada hari Selasa saat pertama dia datang ke Stetson. Dia takut orang akan berpikir ia adalah seorang teroris atau "melihat saya sebagai alien".
"Saya mencintai jilbab saya. Saya sangat bangga menjadi seorang Muslim," katanya. "Ini sangat berarti bagi saya."
Minggu kedua, katanya, ia menyadari "orang-orang tidak melihat saya dan orang-orang pemahaman yang lebih dan berpikiran terbuka."
Ia meminta publik untuk melihat gaya berbapakain seperti halnya musik yang berbeda. "Tuhan menciptakan kita dengan bahasa yang berbeda dan warna yang berbeda. Ini sangat menarik," katanya.
Al-Khataria tampil sebagai pembicara bersama dua perempuan berjilbab lainnya, termasuk seorang mahasiswa di Stetson University dan University of Central Florida. Mereka mengatakan komunitas kampus lebih terbuka menerima perbedaan, ketimbang di bandara atau di tempat umum dimana orang-orang kerap bersikap kasar atau menatap penuh curiga.
Para wanita mengatakan mereka hanya ingin orang-orang memahami budaya mereka dan agama Islam. Tiga wanita ini mengatakan mereka tidak tertindas, mereka memakai jilbab mereka sebagai pilihan dan tidak akan dihukum jika mereka memilih untuk tidak menutupi rambut mereka.
Al-Khataria mengatakan, agama Islam memberikan wanita banyak hak. Dia mengatakan mereka dapat bekerja dan menyimpan semua uang yang mereka peroleh, sedangkan kewajiban mencukupi kebutuhan rumah tangga ada pada pria. "Muslimah menjadi seperti ratu atau putri," ia tertawa.
Mahdiya Fazel, 20, seorang mahasiswa tingkat dua Universitas Stetson dan presiden dari Himpunan Mahasiswa Islam, datang ke AS sekitar lima tahun yang lalu dari Afrika Timur. Dia dan keluarganya tinggal di Lake Mary.
Fazel mengatakan dia memilih untuk memakai jilbab karena dia suka yang unik. Dia mengaku tak terganggu kendati dia dan keluarganya selalu berhenti di bandara untuk pemeriksaan acak.
Fazel mengatakan sebelum diskusi panel bahwa beberapa temannya telah mengatakan lelucon teroris, tapi baginya tak terlalu dianggap serius.
Masuma Virji, 34, seorang mahasiswa di University of Central Florida dan direktur Amerika Muslim Foundation di Lake Mary, mengatakan dia lahir di Kuwait dan pergi ke Inggris dengan orangtuanya selama Perang Teluk sebagai pengungsi. Salah satu dari tiga putrinya dipindahkan ke sebuah sekolah Islam swasta karena dia selalu pulang dalam kondisi menangis karena dilecehkan teman-temannya.
Dia mengatakan jilbab adalah simbol dari kerendahan hati . Dalam islam, Muslimah masih bisa memiliki "selera mode" seperti memakai sepatu hak tinggi atau gaya yang berbeda.
"Ini lebih penting untuk mendefinisikan diri siapa Anda, bukan oleh apa yang Anda kenakan," kata Virji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar