Home

April 05, 2011

Terlalu Cinta Dunia adalah Pangkal Segala Malapetaka



Apakah problem korupsi seolah lingkaran setan? Dari mana dan kenapa ada masalah korupsi, nepotisme dan seterusnya? Yang jelas, pasti ada asal muasalnya. Sumbernya adalah dunia itu sendiri. Kita sebenarnya sudah hafal dengan Cinta dunia adalah pangkal segala malapetaka. Sayangnya, justru seringkali tanpa sadar kita amalkan juga. Sumber malapetaka di negeri ini bermuara kepada cinta dunia yang belebihan, termasuk dalam soal korupsi atau suap. Dunia hanyalah sekadar wasilah, bukan ghayah (tujuan). Hidup di dunia ibarat sekadar mampir minum. Karena kita seringkali meniru gaya Barat yang berorientasi dunia (material), yang akhirnya akan melupakan sisi akhirat. Kalau sudah segalanya dunia, Al Quran dibaca beribu kali pun tidak akan berpengaruh. Apalagi Al Quran hanya dagingnya saja (dipahami simbolik saja). 

Demikian pula dzikir atau istighatsah tidak akan ada gunanya, kalau tidak diterapkan. Ini terjadi karena sumber dan konsep dunianya sudah berubah jauh. Di bawah sadar, diam-diam kita sudah tidak lagi menganggap dunia sebagai perantara (wasilah), tetapi sebagai tujuan. Akibat orientasi inilah korupsi atau suap terjadi. Meski ada kesempatan, tapi kalau tidak ada niat, korupsi atau suap tidak akan terjadi.

Sangat ironis, ajaran agama yang kita jalankan lebih bersifat simbolik atau tidak substansial. Kita semua tahu pelaksanaan sholat, tapi belum tentu kita semua memahami makna ibadah tersebut. Sekarang ini, substansial (ruh) itu sudah semakin jauh, karena kita sudah sampai ke simbol dan simbol.

Kita ini sudah jauh dari nilai-nilai kita sendiri. Bagaimana kita mau melawan kebusukan-kebusukan dan semua yang korup, kalau kita sendiri tidak tahu bahwa kita ini busuk atau tidak?

Seperti yang sudah disampaikan di atas, sumber korupsi yang paling utama adalah dunia ini. Kebanyakan kita masih menganggap dunia ini hanya wasilah, bukan ghayah. Mereka yang kini di pemerintahan harus siap menerima masukan. Selain itu, para ulama dan kiai muda, tidak perlu memikirkan pilkada dan yang sebangsa itu. Bila hal itu yang menjadi pemikirannya, maka sama saja dengan orang mengucapkan Allahu Akbar di jalan-jalan.

Kita mempunyai tanggungjawab yang besar, bukan hanya memandaikan masyarakat, tetapi juga menyejahterakan, membikin maslahah bagi masyarakat. Kalau ulama dan kiai masih terjebak dalam hal-hal materiil, bagaimana mereka memerbaiki dan menolong masyarakat. Ulama dan kiai harus menyadari seberapa besar tanggungjawabnya. Apakah tanggung jawab kiai itu hanya di pesantren saja ataukah ingin lebih dari itu? Sekarang yang diwarisi itu siapa? Kalau yang diwarisi itu Nabi Muhammad SAW, kita tahu, selain dia nabi juga rasul. Jadi yang diwariskan adalah nubuwwah dan risalah.
Bisa saja para kiai-kiai dan ulama baru melaksanakan yang nubuwwah, tapi yang risalah sudah diwarisi atau belum? Istilahnya, ada kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kita perlu memikirkan bagaimana keagamaan kita hingga persoalan sosial ini dapat dimengerti akar, daging, dan juga kulitnya.

Reformasi di Indonesia tidak bisa dilakukan, kalau tidak ada reformasi keberagamaan. Reformasi keberagamaan juga tidak bisa diharapkan, kecuali melalui kiai-kiai dan santri-santri yang masih segar dan jernih, yang belum terkontaminasi budaya berorientasi dunia itu. Saya mengharapkan kaum muda untuk betul-betul peduli secara menyeluruh terhadap persoalan-persoalan yang kita hadapi, terutama terkait korupsi. Kemudian, kita harus menyiasati itu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang sudah ada. Dengan demikian, akan memberikan sumbangan yang luar biasa dan tidak hanya ilmiah saja, tetapi (lebih dari itu) juga sebagai sumbangsih pengkhidmatan kepada masyarakat.


KH. Musthofa Bisri, Pimpinan Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Rembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar