Home

September 24, 2011

Menangis sebagai Bahasa Komunikasi Isteri



Dalam kehidupan rumah tangga, banyak sekali cara yang digunakan untuk berkomunikasi. Suatu ketika suami dan isteri bisa berdiskusi dengan lancar tentang berbagai macam tema. Mereka berdua mengobrol, bercerita, berdialog tentang berbagai urusan rumah tangga hingga urusan dunia. Mereka bisa saling mengungkapkan perasaan dan keinginan masing-masing dengan lancar, tanpa kendala dan tanpa kekakuan suasana.

Namun relasi suami isteri sering mengalami fluktuasi, kondisinya bisa sangat cepat berubah. Ada masa dimana hubungan di antara mereka menjadi jauh dan berjarak. Mereka berdua tidak bisa nyaman berdiskusi, tidak bisa jenak bercerita, tidak bisa lancar berkata-kata. Suasana di dalam rumah terasa sangat kaku bahkan sangat menyiksa. Ada suasana asing dan aneh yang menyelimuti rumah tangga, sehingga mereka berdua memilih saling mendiamkan dan tidak bertegur sapa.


Kadang ada keinginan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Saat isteri memendam banyak sekali perasaan yang tidak bisa ditumpahkan dengan kata-kata, maka mengalirlah air mata. Rata-rata kaum perempuan lebih mudah dan lebih banyak menangis dibanding rata-rata laki-laki. Konon, rata-rata perempuan menangis sekitar 47 (empatpuluh tujuh) kali dalam setahun, sedangkan laki-laki hanya 7 (tujuh) kali saja. Tingginya hormon prolaktin dalam tubuh perempuan diduga menjadi salah satu penyebabnya.

Ketika isteri menangis, sesungguhnya ia sedang mengekspresikan perasaan dan mencurahkan keinginan yang terpendam. Ia ingin mengungkapkan sesuatu, namun tidak mampu dilukiskan dengan kata-kata. Mungkin perasaan sangat bahagia, mungkin perasaan sangat terluka, mungkin perasaan sangat kagum, mungkin perasaan sangat benci. Air mata lebih bisa mewakili perasaan yang ingin diungkapkan dibandingkan dengan kata-kata. Ada sangat banyak keterbatasan kata untuk mewakili suasana hati.

Bagi para suami, hendaklah semakin pandai memahami bahasa komunikasi yang satu ini. Saat melihat isteri menangis, pahamilah ia tengah berkomunikasi dengan bahasa air mata. Oleh karena itu tidak layak bagi para suami untuk memarahi isteri yang sedang menangis, atau memaksanya untuk diam. Apalagi jika sampai mengancam dan menggunakan kekerasan dalam rangka membuat sang isteri menghentikan tangisnya. Bukankah ia sedang berkomunikasi lewat tangisnya, mengapa dipaksa diam ? Para suami harus bersedia mendengar dan menampung tangis isterinya, sebagai bagian dari media berkomunikasi.

Ada sangat banyak pesan yang bisa disampaikan lewat tangis isteri. Para suami harus semakin pandai memahami pesan yang sedang disampaikan isteri lewat tangisnya. Mungkin saja ada pesan seperti ini yang hendak disampaikan sang isteri melalui tangis :

“Aku sungguh sangat mencintaimu”.
“Aku tidak ingin kehilanganmu”.
“Aku sangat bangga menjadi isterimu”.
“Suamiku, betapa bahagia hatiku berdekatan denganmu”.

Atau bisa jadi, ada pesan seperti ini :
“Engkau benar-benar tidak memahami perasaanku”.
“Engkau salah mengerti tentang diriku”.
“Engkau tidak pernah mempedulikanku”.
“Engkau tidak tahu betapa sangat sakit hatiku”.

Mungkin juga, isteri sedang mengirim pesan seperti ini :
“Aku kecewa sekali dengan sikapmu”.
“Engkau lelaki yang sangat kasar dan tidak berperasaan”.
“Aku sangat membenci perbuatanmu”.
“Malu sekali aku menjadi isterimu”.

Ketika selesai menangis, ada perasaan lega. Seperti telah berhasil melenyapkan gunung yang menghimpit tubuhnya. Perasaannya lebih nyaman dan suasana emosinya menjadi lebih stabil. Apalagi ketika suami mendekat dan memeluknya dengan penuh kasih sayang serta kelembutan, serasa perasaannya lebih terdukung. Ia merasa memiliki arti dan dihargai. Ia merasa dimengerti dan dicintai. Ia merasa benar-benar disayangi.

Namun apabila suami berlaku keras dan kasar saat isteri menangis, justru akan memperpanjang tangis sang isteri. Dipastikan suami akan gagal menangkap pesan nonverbal yang disampaikan lewat tangis sang isteri, jika ia melakukan tindakan kekerasan dengan memaksa isteri menghentikan tangisnya. Sungguh sebuah tindakan bodoh memaksa isteri berhenti menangis dengan cara yang keras dan kasar, karena pasti tidak akan berhasil.

Para suami harus menyediakan kelapangan dada untuk menampung dan mendengarkan tangis sang isteri. Jangan disikapi dengan cuek, pura-pura tidak tahu, sengaja tidak mempedulikan, atau bahkan melakukan tindakan kekerasan untuk memaksa menghentikan tangis. Pahamilah bahwa air mata merupakan salah satu bahasa komunikasi, seperti bahasa komunikasi lainnya. Maka saat isteri menangis, pertanda ia tengah mengajak berkomunikasi, dan suami harus merespon komunikasi itu dengan bahasa yang tepat.

Kadang kala suami merasa jengkel karena ia telah sangat lelah dan jenuh menghadapi permasalahan di luar rumah. Ia telah sangat penat menghadapi persoalan di kantor tempatnya bekerja, dan ingin ada suasana rehat di rumah. Ia ingin istirahat dan ingin meringankan beban yang tengah dirasakan akibat persoalan di dunia pekerjaan. Namun di rumah ternyata menjumpai suasana yang tidak diharapkan. Sesampai di rumah ia menjumpai isterinya berlaku asing dan sangat sensitif. Menyambut kedatangan suami dari kerja bukan dengan senyum dan keramahan, justru dengan ledakan tangis.

Menghadapi situasi seperti itu, para suami harus bersikap dingin. Tidak boleh emosional. Para suami harus menyadari bahwa isteri dan anak-anak di rumah memiliki hak untuk mendapatkan dirinya dalam suasana yang segar, selalu fresh. Sebagaimana kantor tempatnya bekerja, ingin mendapatkan dirinya selalu dalam suasana segar dan penuh semangat. Tidak layak kesegaran dan semangatnya hanya diberikan untuk kantor, sementara pulang dengan sisa-sisa tenaga. Sisa-sisa kesegaran, sisa-sisa perasaan, sisa-sisa semangat saja yang dibawa pulang ke rumah.

Isteri selalu menjumpai suami dalam suasana kusut saat di rumah, padahal isteri juga sedang mengalami banyak masalah. Maka muncullah suasana sentimentil, dan meledaklah tangis isteri di saat suami sedang menghendaki ketenangan. Kondisi ini harus disikapi dengan tenang dan proporsional. Para suami hendaknya membaca bahwa tangis sang isteri merupakan bahsa komunikasi. Ada pesan yang hendak disampaikan lewat tangis itu. Kendati sedang dalam suasana lelah dan jenuh, para suami harus bersikap dingin hati dan sejuk pikiran. Hadapilah dengan sepenuh jiwa, bahwa itulah realitas kehidupan yang senyatanya.

Kita tidak sedang hidup di dunia sinetron atau sinema. Kita hidup di alam yang senyatanya. Maka berbagai peristiwa kehidupan harus disikapi dengan bijaksana. Hadapi tangis isteri dengan bahasa perasaan. Tampunglah tangisnya, kendati anda juga sedang dalam kondisi jenuh dan penat menghadapi problematika dunia kerja di luar rumah. Dengan cara itu, anda berdua telah merajut bahasa komunikasi lewat hati. Suami tidak perlu kaget dan risau dengan tangis isteri, dan isteri tidak perlu kecewa karena tangisnya tidak ditanggapi.

Semakin lama usia pernikahan anda, harus semakin pandai memahami setiap simbol dan bahasa yang digunakan pasangan dalam menyampaikan pesan. Menangis adalah salah satu simbol dan juga bahasa, yang sering digunakan para isteri untuk berkomunikasi. Jangan lagi disalahpahami para suami.


Sumber :
http://edukasi.kompasiana.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar