Oleh: Asy Syaikh Muhamad bin Shalih Al Utsaimin
Sabar menurut bahasa adalah menahan. Adapun secara syar’i, maknanya adalah menahan diri dalam tiga perkara:
- Yang pertama, taat kepada ALLAH subhanahu wata’ala.Ini adalah macam-macam sabar yang telah disebutkan oleh para ulama.
- Yang kedua, menahan diri dari perkara-perkara yang haram.
- Yang ketiga, menahan diri terhadap takdir ALLAH subhanahu wata’ala yang menyakitkan.
Adapun penjelasan dari masing-masing jenis sabar itu adalah sebagai berikut:
1. Seseorang bersabar di atas ketaatan kepada ALLAH subhanahu wata’ala, karena taat sangat berat dan sulit oleh jiwa dan badan, di mana seseorang merasa lemah, capek dan kepayahan dari sisi harta seperti zakat dan haji. Yang jelas dalam ketaatan kepada ALLAH subhanahu wata’ala terdapat kepayahan yang dirasakan oleh jiwa dan badan sehingga dibutuhkan sabar dan pertolongan. ALLAH subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu)”. (Ali-‘Imran: 200).
2. Sabar untuk tidak melakukan perkara-perkara yang diharamkan oleh ALLAH subhanahu wata’ala yaitu seseorang menahan diri dari segala sesuatu yang diharamkan-Nya karena jiwa selalu menyuruh dan menyeru untuk berbuat jelek sehingga manusia perlu menyabarkan diri, seperti berdusta, menipu dalam muamalah, makan harta dengan bathil dengan cara riba atau yang lainnya, zina, minum khamr, mencuri, dan yang semisalnya dari dosa-dosa besar. Sehingga seseorang harus mampu menyabarkan diri darinya sehingga terjerumus ke dalam maksiat dan ini membutuhkan pertolongan dan menahan diri dan hawa nafsu.
3. Sabar terhadap takdir-takdir ALLAH subhanahu wata’ala yang menyakitkan karena takdir-Nya terkadang membahagiakan dan menyakitkan. Adapun takdir yang membahagiakan maka perlu untuk disyukuri, sedangkan bersyukur termasuk ketaatan kepada ALLAH sehingga termasuk jenis yang pertama, sedangkan takdir yang menyakitkan dirasakan tidak enak oleh manusia dengan diberi cobaan pada badannya, hilangnya harta, keluarganya dan masyarakatnya.
Yang jelas jenis musibah yang menimpa manusia sangat banyak sehingga diperlukan sabar dan pertolongan. Dia menyabarkan jiwanya dari segala sesuatu yang diharamkan baginya, seperti menampakkan keluh kesah dengan lisan, kalbu atau anggota badan, karena seseorang yang tertimpa musibah tidak lepas dari empat kondisi:
- Yang pertama, marah atas musibah yang menimpanya
- Yang kedua, bersabar
- Yang ketiga, ridha
- Dan yang keempat, bersyukur.
Keempat kondisi berikut ada pada manusia tatkala tertimpa musibah:
1) Adapun kondisi yang pertama, seseorang marah terhadap musibah yang menimpanya, apakah hal itu ditunjukkan dengan kalbu, lisan atau anggota badannya. Marah dengan kalbu dengan berprasangka jelek kepada ALLAH subhanahu wata’ala berupa kemarahan kepada-Nya –aku berlindung kepada ALLAH dari perkara ini- atau hal-hal yang semacamnya dan seakan-akan ALLAH subhanahu wata’ala telah menzhaliminya dengan musibah ini. Adapun dengan lisan maka ditunjukkan dengan mengucapkan kata-kata umpatan, kecelakaan, seperti mengatakan aduh, celakanya atau kata-kata yang semakna, mencela zaman sehingga menghina ALLAH subhanahu wata’ala dan yang semisalnya. Adapun dengan anggota badan seperti menampar-nampar pipi, memukul kepala, mencabik-cabik rambut, merobek-robek baju atau yang semisalnya.
Kemarahan seperti ini adalah kondisi orang-orang yang banyak keluh kesahnya yang mana ALLAH subhanahu wata’ala telah haramkan mereka untuk mendapat pahala dan tidak akan selamat dari musibah bahkan mereka mendapatkan dosa karenanya sehingga mereka mendapat dua musibah yaitu musibah dalam agamanya dengan kemarahannya tersebut dan musibah di dunia dengan tertimpa sesuatu yang menyakitkan.
2) Kondisi yang kedua adalah bersabar terhadap musibah yang menimpanya yaitu dengan menahan jiwanya sementara dia merasa tidak suka terhadap musibah tersebut namun dia menyabarkan diri dengan menahan lisannya atau berbuat sesuatu yang akan mendatangkan murka ALLAH subhanahu wata’ala atau sama sekali tidak ada prasangka buruk dalam kalbunya terhadap ALLAH subhanahu wata’ala, dia bersabar namun tidak suka terhadap musibah yang menimpanya.
3) Yang ketiga adalah merasa ridha terhadap musibah yang menimpanya di mana seseorang merasa lapang dada terhadap musibah yang menimpanya dan memiliki keridhaan yang sempurna sehingga seakan-akan tidak tertimpa musibah.
4) Kondisi terakhir adalah bersyukur atas musibah yang menimpanya dan Rasulullah jika melihat sesuatu yang beliau tidak sukai mengatakan, “Alhamdullilah ‘ala kulli hal (Segala puji bagi ALLAH atas segala keadaan)”. Beliau bersyukur karena ALLAH subhanahu wata’ala memberikan pahala yang berlipat atas musibah yang menimpanya. Oleh sebab itu diriwayatkan dari beberapa wanita yang ahli ibadah yang tertimpa musibah pada jari-jemarinya maka wanita itu memuji ALLAH subhanahu wata’ala sehingga orang-orang bertanya kepadanya, “Bagaimana mungkin kamu memuji ALLAH subhanahu wata’ala sedang jari-jemarimu terluka?” Maka dia menjawab, “Sesungguhnya kenikmatan pahalanya telah membuatku lupa terhadap pahitnya sabar”.
Dan ALLAH-lah yang Maha Pemberi Taufik.
(Diterjemahkan dari Syarh Riyadhis Shalihin karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, sumber: www.ulamasunnah.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar