Sebuah atsar dari Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu'anhu, ia mengatakan bahwa cinta itu memiliki dua episode. Yang pertama adalah pengorbanan, dan yang kedua adalah keberanian. Meskipun saya tidak begitu mengetahui lebih jauh tentang periwayatan atsar tersebut, tapi sepertinya matan yang disampaikan cukup bagus.
Ingin saya berbagi, dengan bahasa pemaparan saya sendiri..
Yang pertama adalah pengorbanan. Episode ini mengambil setting waktu di saat kita belum bisa memenuhi panggilan cinta, dan ‘merayakan’nya. Adalah di saat ketika kita belum siap dan belum mampu menikah. Dalam kondisi ini, episode cinta setiap anak manusia adalah pengorbanan. Pengorbanan untuk membatasi angan-angan cinta. Pengorbanan untuk mengendalikan hawa nafsu. Pengorbanan untuk, pada akhirnya, merelakan jika cinta itu melayang mendahului kita.
Yang kedua adalah keberanian. Episode ini hadir ketika kita telah bisa memenuhi panggilan cinta, merayakannya dalam pernikahan yang suci. Momen di saat kita telah siap dan mampu untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan. Dalam waktu ini, tema dari episode cinta telah berubah, keberanian. Dalam episode ini, keberanian menjadi penentu jalan cinta kita. Keberanian mengambil tanggung jawab. Keberanian memimpin keluarga. Keberanian membangun cinta yang benar.
Namun, banyak dari kita yang keliru memahami dua episode cinta ini. Tidak jarang kita temui banyak orang yang memutarbalikkan episode cinta tersebut. Di saat tema cerita yang sesungguhnya adalah pengorbanan, malah diyakini sebagai episode keberanian. Sementara, pada episode keberanian, dikembalikan menjadi cerita pengorbanan.
Kesalahan dalam memahami episode cinta inilah yang kemudian banyak menodai hakikat dan arti cinta. Makna cinta menjadi sesuatu yang hina. Episode pengorbanan menjadi kisah pendusta. Sementara, episode keberanian menjadi cerita para pengecut.
Kisah pendusta adalah episode ketika cerita pengorbanan diputarbalikkan dengan semangat keberanian. Banyak dari kita yang belum mampu, bahkan belum siap menikah, membuat cerita pengorbanan cinta dalam bingkai keberanian yang salah. Banyak dari kita yang mengutarakan cinta, tanpa ada kemampuan untuk bertanggung jawab. Ada yang berdalih ‘penjajakan’ cinta, atau dalam bahasa yang lebih syar’i, ‘ta’aruf‘.
Keberanian mengutarakan cinta didasarkan pada fondasi dusta. Ya, dusta. Karena, mengutarakan cinta bukan sekedar membuka pintu hati untuk saling menerima, namun juga ada tanggung jawab besar dibalik itu semua,mitsaaqan ghalizha. Sebuah tanggung jawab besar, yang dianalogikan dengan perjanjian para rasul. Namun, keberanian tersebut hanya didasarkan oleh nafsu yang tak menentu dan kemampuan bertanggung jawab yang sangat lemah. Akhirnya, banyak dari keberanian tersebut kemudian berbalik arah menjadi sebuah kedustaan. Jadilah orang-orang yang gagal tersebut diibaratkan seperti kisah para kaum maghduub.
Sementara, episode keberanian menjadi cerita para pengecut. Di saat, ‘panggilan cinta’ telah datang. Banyak dari kita tidak berani menyambutnya dengan penuh keberanian. Episode ini hanya membutuhkan keberanian. Tidak yang lain.
Episode keberanian akan datang dengan sendirinya. Ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala menilai kita telah siap untuk bertanggung jawab atas cinta. Episode ini tidak lagi membutuhkan kemampuan. Karena, Sang Pemilik Rezeki telah menganugerahkan kesiapan bagi kita untuk menjalani bahtera cinta.
Pada saat inilah kemudian muncul nyali para pengecut. Ketakutan akan rezeki, ketakutan akan prestasi, ketakutan akan segala hal yang semestinya tidak perlu ditakuti, seketika membentang luas di hamparan pandangan mata. Cinta yang telah menanti, terkhianati oleh ketidakberanian kita.
Padahal, sebelum episode ini dimulai, banyak dari kita yang mengaku berani. Episode pengorbanan yang sebelumnya ada, justru digadang-gadang sebagai cerita keberanian (mengutarakan cinta). Tapi, ketika episode keberanian itu datang, maka hadirlah banyak dari kita yang menjadi pengecut. Hadirlah banyak dari kita menjadi para pengkhianat cinta. Mendeklarasikan cinta yang belum saatnya dengan penuh keberanian. Tapi, kemudian mundur diam-diam, di saat cinta itu meminta tanggung jawabnya.
Semoga kita bukan menjadi para pendusta yang pengecut dalam menjalani episode cinta kita. Biarlah cinta tumbuh dan bersemi dengan indah, dalam naungan ridha Sang Penguasa Cinta. Bersabar dalam pengorbanan (yang mungkin sangat teramat berat) di saat kita belum siap. Namun, hadirlah menjadi sosok-sosok yang pemberani, dengan keberanian yang utuh di saat kita siap dan momentum cinta itu telah tiba. Hingga kemudian para malaikat, orang-orang shalih, dan semua makhluk di muka bumi mendo’akan kita..
Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jam’a bainakuma fii khair
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar