Home

September 12, 2011

Ayah, ittaqullah…., bertakwalah kepada Allah! Bertakwalah kepada Allah, ayah



“Ayah, ittaqullah…., bertakwalah kepada Allah! Bertakwalah kepada Allah, ayah.”

Lampu lalu lintas menyala merah, dan jalanan penuh sesak dipadati kendaraan bermotor. “Sial, lama sekali.” Satu menit pada saat itu seolah satu jam di hari biasa. Mataku berbolak-balik memandangi jam dan lampu lalu lintas. Akhirnya lampu menyala hijau.

Kutekan klakson mobil keras-keras. Aku tidak peduli ketika semua orang terkejut memandangku. Kupacu mobilku dengan cepat, sempat beberapa kali bertumbukan dengan mobil lain. Waktu terus berlalu dan aku kehilangan kesempatan bertemu dengan rekan-rekanku. Semuanya telah pergi

Akhirnya, aku putuskan untuk menghabiskan malam ini di rumah. Ide yang bagus, “Bukankah anakku, sarah, sedang sakit sehingga aku harus berada di dekatnya.”

Aku menghentikan mobil di depan toko kaset, memilih beberapa kaset film dan lagu. Sesampainya di rumah, aku membuka pintu dan memerintahkan istriku, “Istriku, buatkan aku teh dan bawakan kue.”

Lalu kulangkahkan kaki ke kamar.
Istriku memasuki kamar sembari membawa segelas teh dan kue. Bibirnya tersungging senyum, dan berkata manja, “Kamu pasti sudah bosan bersma teman-temanmu dan ingin istirahat di rumah kan?”

“Iya, kemarilah. Temani aku duduk.”

Istriku tampak bahagia dan segera duduk. Kuputar kepingan VCD yang baru saja kubeli. “Bertakwalah kepada Allah.” Sesal istriku sambil beranjak.

Di kamar, kuputar musik keras-keras. Aku tertawa, berteriak, dan menjerit semauku sambil minum the dan makan kue, sementara mataku terpaku di layar televise.

Kaset pertama dan kedua telah usai. Jarum jam dinding menunjuk angka tiga. Tiba-tiba gagang pintu bergerak pelan. “Siapa?” teriakku. Tak ada jawaban, bahkan angin pun seakan tak bergerak. Sunyi. Sepi.

Tak lama pintu kamar terbuka. Sarah, putriku yang sedang sakit masuk. Aku terdiam membisu.
Dia mendekat dan memandangiku lekat-lekat,

“Ayah, ittaqullah…., bertakwalah kepada Allah! Bertakwalah kepada Allah, ayah.”

Aku masih mematung ketika ia beranjak pergi dan menutup pintu.
“Sarah…! Sarah…!” teriakku begitu tersadar. Dia tidak menjawab. Aku hampir tidak percaya. Benarkah dia anakku?

Aku melangkah ke kamarnya dan membuka pintu. Aku lihat ia berbaring di atas ranjang dalam dekapan ibunya. Aku kembali ke ruang keluarga dan memarikan perangkat video.
Suara anakku terus menggaung seolah merayap di dinding. “Ayah, bertakwalah kepada Allah, bertakwalah kepada Allah, ayah!”

Badanku menggigil. Keringat dingin mengucur dari kepalaku. Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Suara itu terus memenuhi gendang telingaku. Postur tubuhnya terus membayang di kelopak mataku. Kata-katanya mengingatkanku akan semuanya; maksiat, rokok, film porno….ah, aku malu walau sekedar mengingatnya. Semua maksiat dan dosa seolah terekam dengan sempurna. Aku sungguh malu mengingatnya.

Ia mengetuk hatiku dan membangkitkanku dari kelalaian. Detak jantungku bergerak cepat. Kurebahkan tubuhku di lantai. Aku berusaha tidur, tetapi tidak bisa. Waktu berlarian di lembaran malam yang hampir pagi.

Satu demi satu slide show kehidupan masa laluku terpampang di hadapanku. Dan teguran lembut dari putriku masih terngiang,

“Ayah, bertakwalah kepada Allah. Bertakwalah kepada Allah wahai ayah.”

Kumandang adzan memecah keheningan pagi dan meluluhlantakkan hatiku. Persendianku menggigil, urat leherku gemetar dan ada getaran yang berjalan di dalam sendi-sendiku ketika mu’adzin berseru, Shitu lebih baik daripada tidur.”

“Benar, shalat lebih baik daripada tidur dan aku telah terlelap selama bertahun-tahun.”

Aku mengambil air wudhu. Kususuri jalan yang telah lama kulupakan; jalan ke masjid. Aku masuk masjid, dan shalat dua rekaat, dan membaca al Qur’an. Entah sudah berapa lama aku tidak menyentuh mushaf. Aku membacanya tergagap. Berkali-kali aku membaca surat az Zumar : 53, “Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” Setelah itu aku shalat shubuh berjama’ah. Dan berdzikir hingga matahari terbit.

Sesampainya di rumah, aku bersiap untuk pergi ke kantor. Senyum bahagia tersungging dari bibirku. Aku menyapa semua rekan-rekan kerjaku sehingga mereka heran dengan perubahan sikapku. Selesai bekerja, aku pulang namun….,

Di tengah perjalanan, aku mencemaskan putriku, sarah. Tiba-tiba aku merasa takut. Entah mengapa. Rasanya jalan yang aku lalui sangat jauh. Aku takut terjadi apa-apa.

Sesampainya di rumah, aku memanggil istriku dan ada yang menyahut. Aku segera masuk ke kamar. Kudapati istriku menangis, “Sarah telah meninggal.” Bisiknya di sela airmata yang tertumpah.

Aku tak percaya. Aku mendekati putriku. Kudekap erat-erat dan kugendong. Tapi tangannya terkulai lemas dan badannya dingin. Aku tidak merasakan lagi detak jantung dan nafasnya. Sunyi. Aku tidak mendengar apa-apa.

Aku masih belum percaya. Aku pandangi wajahnya yang berseri-seri. Kugerak-gerakkan tangannya, dan kugoyangkan tubuhnya. Aku ingin dia bangun, dan berkata, “Ayah…”

Tetapi istriku mengingatkan, “Sarah, sarah sudah meninggal.” Dengan airmata berderai.

Aku ikut menangis. Airmataku terus mengalir. Kuperhatikan wajah cantik putriku dan rambutnya yang lembut. Aku kecup bibirnya yang tipis.

Aku baru sadar bahwa ini adalah musibah. Berulangkali kuberucap, “La haula wa la quwwata illa billah.”

Segenap kerabat wanita memandikan dan mengkafani jenazah putriku bersama istriku.

Setelah dikafani, istriku memanggilku. Aku nyaris jatuh, tapi aku berusaha tegar. Aku kecup kening putriku untuk terakhir kalinya dan aku berjanji untuk tetap istiqamah.

Kuperhatikan wajah istriku. Matanya memerah dan wajahnya pucat. Ia tampak terpukul dan tergoncang.

“Jangan bersedih wahai istriku, sarah telah pergi ke surga dengan izin Allah. Kita akan berjumpa di sana, insya’Allah. Relakanlah agar dia menolong kita.” Pesanku kepadanya.

Istriku menangis, dan akupun tak kuat menahan airmataku. Kami menyalati jenazah anak kami dan membawa jenazahnya ke pemakaman.

Aku melihat jenazah Sarah. Aku berdiri di atas liang kubur putriku. Aku turun ke dalam kubur, dan aku berkata kepada diriku sendiri, “Inilah tempat tinggalmu nanti, wahai Ahmad, sekarang atau esok. Apa yang telah engkau persiapkan untuk tempat tinggal seperti ini?”

Kemudian aku letakkan jenazah putriku di depan dadaku. Aku suka seandainya aku yang dikuburkan di kuburan ini. Aku dekap erat-erat jenazah putriku. Aku kecup, lalu kuletakkan jasadnya menghadap ke sisi kanannya, dengan membaca, “Bismillahi wa ala millati Rasulillah.”

Aku menyusun papan di atasnya dan menutup semua celah. Aku keluar dari liang kubur, sementara orang-orang mulai menutupnya dengan tanah. Aku tak kuasa menahan airmataku yang berjatuhan. Selamat jalan nak, semoga engkau berbahagia di sana.

(Disadur dari athfalun lakin du’atun, kecil-kecil jadi Da’I, Aqwam.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar