Orang miskin ternyata lebih berempati dan dermawan dibanding orang kaya. Hal ini telah dibuktikan oleh sebuah studi dan dipublikasikan dalam Psychological Science.
Dalam serangkaian percobaan, penelitian menemukan bahwa masyarakat kelas bawah lebih baik saat membaca emosi di wajah seseorang. Ini menjadi satu ukuran dari akurasi empati.
Tidak hanya itu saja, penelitian sebelumnya juga menyebutkan bahwa orang dengan status sosial ekonomi rendah lebih suka membantu dan dermawan. Jadi bukan hanya akurasi empati, tapi empati itu sendiri dapat ditingkatkan oleh keadaan.
Mahasiswa postdoctoral dari Universitas California, San Francisco Michael Kraus mengatakan lingkungan kelas bawah jauh berbeda dengan lingkungan kelas atas. Mereka harus merespon sejumlah kerentanan dan ancaman sosial yang datang sehingga lebih peka terhadap emosi.
Rekan penulis, seorang profesor psikologi di University of California, Berkeley Dacher Keltner menyetujui pendapat tersebut. Hal ini karena orang dalam kelas sosial ekonomi rendah mendefinisikan hidup mereka oleh ancaman baik lingkungan, institusi dan orang lain. Salah satu strategi adaptif untuk menanggapi ancaman ini adalah dengan waspada dan hati-hati terhadap orang lain.
Dalam studi ini, Kraus dan rekannya melakukan tiga percobaan yang berbeda. Yang pertama dengan melibatkan karyawan sebuah universitas. Diantaranya ada yang bergelar sarjana dan ada yang tidak. Pendidikan berkaitan dengan status pekerjaan seseorang dan digunakan sebagai ukuran untuk kelas sosial.
Ketika diminta untuk melihat foto-foto penggambaran wajah dan diminta mengidentifikasi emosi yang digambarkan, mereka yang pendidikannya hanya tingkat sekolah menengah lebih baik hasilnya dibanding mereka yang berpendidikan tinggi.
Percobaan kedua melibatkan mahasiswa. Mereka diminta untuk menilai status kelas sosial mereka dengan menempatkan diri pada peringkat yang mewakili kelas mereka. Dan sekali lagi, orang yang menilai dirinya dari kelas bawah mengungguli kelas atas dalam mengidentifikasi emosi.
Selanjutnya, percobaan ketiga siswa diminta untuk membandingkan status kelas mereka dengan orang lain yang lebih tinggi atau lebih rendah. Mereka yang membandingkan dirinya dengan orang kelas bawah dan menganggap dirinya memiliki status lebih tinggi kurang akurat saat membaca ekspresi emosional.
Disamping itu, hubungan kekuasan, tingkat ekonomi, dan gender diduga terkait sebagai faktor mengapa orang yang berada di tangga kelas lebih rendah mampu membaca sinyal emosional. Untuk gender, diperkirakan wanita lebih bisa membaca emosi orang lain karena adanya hormon oksitosin yang mempromosikan perasaan empati.
“Kita hidup dalam periode historis dimana masalah ketimpangan kesehatan dan psikologis berkorelasi dengan ketidaksetaraan dan kita menemukan ketidaksetaraan itu,” ungkap keltner. (tam)
(sumber : Tribun News.com >> Senin, 20 Desember 2010, 19.08 WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar