Oleh : Dr.Ir.Budi Kartiwa, CESA
Facebook, Twitter, Plurk, atau Friendster dikenal oleh para penghuni dunia maya sebagai ajang cari jodoh, eh temen. Atau lebih populer dengan istilah situs jejaring sosial (selanjutnya disingkat: sjs) alias social networking. Kita yang doyan pezbukan pastinya udah hapal gimana rasanya bisa temenan tanpa dibatasi jarak. Malah tak sedikit yang beruntung bisa ketemu dengan keluarga yang udah lama raib atau temen yang hilang ditelan bumi dengan bantuan situs jejaring sosial ini. Nah, disini bakalan dikupas all about social networking yang ternyata juga dipake buat memata-matai tingkah umat islam di dunia maya. Nah lho?! Lets Cekidot!
Teorinya, jejaring sosial adalah struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individual atau organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan dimana mereka berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga. Istilah ini diperkenalkan oleh Profesor J. A. Barnes pada tahun 1954.
Sejak komputer bisa ngobrol satu sama lain dengan bantuan internet, banyak upaya awal untuk mendukung jejaring sosial melalui komunikasi antar komputer. Lahirlah SJS yang diawali oleh Classmates.com pada tahun 1995 yang berfokus pada hubungan antar mantan teman sekolah. Dan SixDegrees.com pada tahun 1997 yang membuat ikatan tidak langsung. Dua model berbeda dari SJS yang lahir sekitar tahun 1999 adalah berbasiskan kepercayaan yang dikembangkan oleh Epinions.com, dan SJS yang berbasiskan pertemanan seperti yang dikembangkan oleh Uskup Jonathan yang kemudian dipakai pada beberapa situs UK Regional di antara 1999 dan 2001.
Inovasi SJS tidak hanya memperlihatkan siapa berteman dengan siapa, tetapi memberikan pengguna kontrol yang lebih akan isi dan hubungan. Pada tahun 2005, suatu layanan SJS MySpace, dilaporkan lebih banyak diakses dibandingkan Google dan Facebook. SJS mulai menjadi bagian dari strategi internet bisnis sekitar tahun 2005 ketika Yahoo meluncurkan Yahoo! 360. Pada bulan juli 2005 News Corporation membeli MySpace, diikuti oleh ITV (UK) membeli Friends Reunited pada Desember 2005. Diperkirakan ada lebih dari 200 situs jejaring sosial menggunakan model jejaring sosial seperti ini.
Banyak layanan jejaring sosial berbasiskan web yang menyediakan kumpulan cara yang beragam bagi pengguna untuk dapat berinteraksi seperti chat, messaging, email, video, chat suara, share file, blog, diskusi grup, dan lain-lain. Umumnya, SJS memberikan layanan untuk membuat biodata dirinya. Pengguna dapat meng-upload foto dirinya dan dapat menjadi teman dengan pengguna lainnya. Beberapa jejaring sosial memiliki fitur tambahan sperti pembuatan grup untuk dapat saling sharing didalamnya.
Facebook merupakan sebuah jejaring sosial di dunia maya yang paling banyak diminati pengguna internet saat ini. Facebook ditemukan oleh Mark Zuckerberg ketika ia masih kuliah di Harvard University. Dulunya anggota dari website ini adalah terbatas untuk mahasiswa Harvard saja, lalu dikembangkan untuk beberapa universitas dalam satu daerah, akhirnya tidak hanya beberapa universitas, tapi juga sekolah tinggi (SMA) dan anak-anak berumur 13 tahun keatas. Situs ini diluncurkan pada 4 Februari 2004 dan sekarang telah memiliki lebih dari 350 juta user aktif di seluruh dunia.
Karena kebencian dan ketakutannya akan perkembangan Islam, Badan-badan intelijen AS kini sedang mendesain sebuah SJS mirip facebook yang akan digunakan sebagai alat untuk memata-matai aktivitas umat Islam. Facebook ala militer AS ini digunakan untuk menjaring dan menganalisa individu-individu yang dianggap berpotensi mengancam kepentingan negara AS.
Profesor Kathleen Carley seorang pakar komputer dari Carnegie Mellon University, Pittsburgh, Pennsylvania yang ikut melakukan riset pembuatan jejaring “teroris” itu mengatakan, ” yang dimaksud jejaring sosial analisis adalah jejaring yang memberikan data dengan ‘gaya facebook’. Data itu akan saya analisa secara matematis untuk mengetahui siapa orang-orang yang dianggap berbahaya,” kata Carley.
” Jejaring sosial analisis menganalisa informasi tentang siapa tahu siapa atau siapa berhubungan dengan siapa,” sambungnya.
Pembuatan jejaring sosial yang didanai militer AS ini tujuannya untuk mendapatkan data sedetil-detilnya dari orang-orang yang masuk dalam jejaring itu. Kemudian data-data tersebut- tak peduli data tersebut relevan atau tidak- akan diolah ke dalam sebuah program komputer. Selanjutnya komputer akan menganalisa jejaring sosial yang ada, apakah ada kaitannya dengan para “teroris” yang sudah ada, para tersangka bahkan orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tapi ikut ditangkap karena ada pada tempat dan waktu yang salah.
Sumber data yang diambil berasal dari email dan hubungan telepon orang yang bersangkutan. Teknik pengumpulan data semacam ini sudah secara aktif dilaklukan oleh AS di Irak dan Afghanistan. Informasi yang didapat dari ribuan orang yang ditangkap dan diinterogasi di kedua negara itu, dimasukkan ke bank data untuk dianalisa melalui program jejaring sosial.
Dr. Ian McCulloh, seorang pejabat militer di akademi Militer West Point menyatakan bahwa teknik semacam ini sudah menjadi bagian dari struktur militer. ” Analisa jejaring sosial menjadi semacam dokumen anti-pemberontak bagi militer dan intelijen AS,” ujarnya.
Pendek kata, bank “teroris” dengan menggunakan gaya jejaring sosial ala Facebook menjadi salah satu ujung tombak AS dalam perang melawan Islam. Tapi teknik semacam itu dikecam oleh para pakar keamanan.
Profesor Lawrence Wilkerson, pensiunan militer AS mengungkapkan bahwa teknik seperti itu kontraproduktif karena akan banyak orang yang tak bersalah ditangkap dan diinterogasi. Informasi-informasi yang tak berarti bisa dibesar-besarkan oleh para interogator.
Profesor hukum di Northwestern University, Chicago, Joseph Marguelis juga menilai program bank data “teroris” hanya buang-buang waktu dan dana. Menurutnya, sebuah data intelejen yang sebenarnya tidak berarti apa-apa bagi interogator atau bagi orang yang diinterogasi, bisa dianggap membahayakan jika pihak interogator menggabung-gabungkan potongan informasi itu dan mengait-kaitkannya. Program komputer, tambahnya, tidak menjamin bahwa data finalnya benar. ” Bahwa komputer bisa tahu segalanya, itu cuma mitos,” kritik Marguelis.
sumber:
Tabloid D’Rise#-02 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar