Home

Agustus 24, 2011

Pedomani Al-Qur'an, Mulyadi Dinobatkan Keluarga Paling Sakinah Se-Indonesia


Berkat memedomani ajaran Al-Qur’an, Mulyadi, pria asal Surabaya meraih predikat Keluarga Paling Sakinah Senusantara oleh Menteri Agama RI.


Suasana di hall Bhirawa Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, riuh ketika nama Mulyadi Nitisusastro, 68, dan Tien Partini, 61, diumumkan menjadi juara pertama keluarga sakinah. Sejoli yang sudah 43 tahun menjadi suami-istri itu pun terus menebar senyum ketika berjalan menuju panggung kecil di depan ratusan hadirin.

Mereka berdua menerima piala, piagam penghargaan, dan uang tunai Rp 4 juta. Hadiah-hadiah tersebut diserahkan langsung oleh Menteri Agama Suryadharma Ali. Setelah menerima hadiah, kontestan lain yang mewakili berbagai provinsi di Indonesia memberikan ucapan selamat kepada mereka berdua.
Mulyadi-Tien merupakan kontestan keluarga sakinah. Mereka lolos seleksi di tingkat Kecamatan Pituruh, tembus ke Kabupaten Purworejo, hingga mewakili Provinsi Jawa Tengah. “Alhamdulillah. Padahal, awalnya saya menolak ketika hendak didaftarkan pak lurah,” ungkap Mulyadi yang ditemui setelah penganugerahan, Rabu sore (17/8/2011).
Di antara para hadirin, hadir tiga di antara empat anak Mulyadi. Yakni Elfa Rakhmawati, 38 (anak kedua); Johan Abdurrachman, 34 (anak ketiga); dan Rakhmat Arifandi, 30 (bungsu). Si sulung Firman Bachtiar, 41, sejatinya ikut namun harus segera meninggalkan acara karena bersiap pergi umrah.
Penganugerahan penghargaan kemarin menjadi puncak rangkaian acara yang diadakan Kemenag. Sejak Sabtu (13/8), mereka diasramakan di Hotel Bidakara untuk menjalani berbagai tes dan wawancara.
Ujian untuk memilih keluarga sakinah se-Indonesia itu diawali dengan tes tulis untuk masing-masing pasangan. Yakni, mulai ujian pengetahuan umum hingga peraturan perundang-undangan. “Sampai-sampai, ujian P4 (pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila, Red) juga ada,” ujar Tien lantas terkekeh.
Ahad (14/8) dan Senin (15/8) mereka menjalani tes wawancara. Masing-masing pasangan dihadapkan pada empat juri. Pada Selasa (16/8) dan Rabu (17/8), acara lebih banyak seremonial. Selasa (16/8) mereka hadir di gedung DPR/MPR untuk mendengarkan pidato kenegaraan dan pengantar nota keuangan. Kemarin (17/8) mereka sempat ikut upacara HUT Kemerdekaan RI di Istana Merdeka.
Yang paling berat adalah Ahad dan Senin. Sebab, mereka harus meladeni banyak pertanyaan dewan juri. Yakni, tentang cara mengelola keluarga. Mulyadi menjawab pertanyaan itu dengan enteng. “Pedoman saya ada semua dalam Al-Qur’an,” tegas dosen pascasarjana STIE Perbanas Jakarta dan direktur Politeknik Sawunggalih Aji, Purworejo, Jawa Tengah itu.
Mulyadi mengungkapkan, dirinya memegang betul surat An-Nisa’ ayat 8 yang memerintahkan agar tidak meninggalkan keluarga dalam keadaan lemah. Karena itu, dia berupaya keras agar anak-anaknya bisa mentas. Mereka harus berpendidikan dan mandiri secara finansial. “Saya juga harus menjaga keluarga dari api neraka seperti yang disebutkan dalam Surat At Tahrim ayat 6,” jelasnya.
Karena itu, kakek delapan cucu tersebut menerapkan disiplin yang tinggi terhadap anak-anaknya. Terutama soal agama dan pendidikan. Salah satu aturan yang sangat ketat bagi anak-anaknya adalah dilarang keluar setelah salat Magrib. Mereka harus berada di rumah dan belajar sampai pukul 21.30. Meski mengantuk, belajar harus berjalan terus.
“Saya ingat, waktu mengeluh ngantuk, sama bapak disuruh cuci muka, terus lanjut belajar. Padahal, pengen tidur,” kata Elfa Rakhmawati, satu-satunya anak perempuan dalam keluarga.
Seluruh anak juga dilarang pulang lebih dari pukul 24.00. Kalau lewat jam malam, mau tidak mau, mereka harus tidur di teras atau garasi bersama nyamuk. “Pagi-pagi bapak baru bukainpintu. Tapi, dimarahi dulu, baru bisa masuk rumah. Padahal, badan sudah bentol-bentol,” ujar si bungsu Rakhmat Arifandi. “Dia ini yang termasuk sering,” timpal Johan Abdurrahman menunjuk Rakhmat lantas tergelak.
Dalam mendidik anak-anaknya, Mulyadi juga mendorong agar mereka menjadi pemimpin. Setiap salat, anak-anak lelaki bergiliran menjadi imam salat. Kendati makmumnya adalah kakak, ibu, bahkan sang ayah, mau tidak mau mereka harus bisa.
“Dulu, Johan ini waktu jadi imam, surat yang dibaca kalau tidakqulhu (surat Al-Ikhlas, Red), ya inna a”toina (surat Al Kautsar, Red),” kata Mulyadi lantas tergelak. Johan pun meringis. “Tapi, nggak apa-apa. Namanya belajar. Kita biarkan dulu mereka,” imbuh Mulyadi.
Keluarga Mulyadi juga terbiasa merayakan ulang tahun. Namun, perayaan itu hanya dilakukan khusus di internal keluarga. Tien bertugas membuat nasi kuning dan Mulyadi memimpin doa bersama. Kebiasaan tersebut terus berlangsung dan bisa membuat keluarga kompak.
Mulyadi yang asal Surabaya itu mengungkapkan, sebagai kepala keluarga, dirinya harus menjadi teladan sekaligus idola. Dia harus memberikan contoh sekaligus dekat dengan anak-anaknya. “Saya harus jadi hero bagi mereka,” tegasnya.
Setiap memarahi anak-anaknya, Mulyadi berusaha tidak melakukannya di depan orang lain. Saat tamu sudah pulang, baru dia mengingatkan anak-anaknya agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Begitu juga ketika ada masalah dengan Tien. “Jangan sampai saya sama istri cekcok di depan anak-anak. Harus dijaga betul,” ujarnya.
Saat ini, Mulyadi sudah tenang. Pendidikan yang disiplin bagi anak-anaknya mulai membuahkan hasil. Semua putra-putrinya minimal berpendidikan sarjana strata satu. Beberapa di antaranya strata dua. Seluruh anaknya sudah pergi haji pada usia yang cukup muda. Bahkan, Elfa berhaji saat baru berusia 20 tahun. Elfa berhaji bersama paman dan tantenya karena Mulyadi tidak bisa menemani.
Seluruh anak Mulyadi-Tien kini tinggal di Jakarta. Si sulung Firman mendirikan perusahaan penyedia alat peraga pendidikan diikuti Johan yang mengurusi bagian keuangan. Si bungsu berwirausaha, sedangkan Elfa mengurusi perusahaan radio milik keluarga.
Mulyadi dan Tien memang keluarga yang sangat kreatif. Kendati hanya lulusan SMA, Tien bahkan mendirikan Politeknik Sawunggalih dan memimpin sebuah yayasan. Dia juga mendirikan perusahaan penyiaran PT Radio Fortuna di Purworejo. Radio yang awalnya hanya untuk komunitas itu kini menjadi radio komersial dan mengudara via gelombang FM. “Kadang-kadang, saya menjadi penyiarnya,” ungkap Mulyadi lantas tersenyum.
Saat ini, anak-anak Mulyadi sudah berkeluarga sendiri-sendiri. Masing-masing memiliki dua anak. Mulyadi mendorong mereka agar mendidik anak-anaknya sendiri, tidak dilimpahkan kepada dirinya. Sebab, mereka sudah memiliki kehidupan dan tanggung jawab sendiri. “Tapi, tidak berarti kita tak dekat dengan cucu. Dekat iya, tapi mereka tetap harus bertanggung jawab,” jelasnya.
Kendati orang tua lebih sering di Purworejo, mereka tidak pernah sulit berkomunikasi. Sebab, hampir seluruh anggota keluarga memiliki BlackBerry. Bahkan, hingga cucu pun dibekali gadget asal Kanada itu untuk berkomunikasi. Mereka juga membikin grup di BlackBerry khusus anggota keluarga. Namanya the Mulyadi. Di situ, kakek, nenek, maupun cucu boleh curhat. Ingin mengadu saat dimarahi orang tua juga bisa.
Para cucu yang ceriwis biasanya menggunakan grup itu untuk berbincang akrab dengan kakek dan nenek. Pernah, saat salah seorang cucu hendak disuntik, dia meminta kakek dan nenek mendoakan. “Mungkin karena takut disuntik, dia bilang minta doanya embah dan embah putri,” ungkap Tien.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar