Home

Agustus 12, 2011

Dahsyatnya Kekuatan untuk Memaafkan



Seorang korban penyiraman asam yang cacat seumur hidup akhirnya memberikan maaf kepada penganiayanya yang akan dihukum qishash.
    
Bayangkan bila anda menjadi perempuan bernama Ameneh Bahrami ini. Paras Ameneh yang cantik rusak parah dan kedua matanya menjadi buta akibat disiram dengan cairan asam oleh seorang pria yang ditolak cintanya pada tahun 2004. Kini, pengadilan syariah telah memutus pria itu bersalah dan dihukum qishash dengan dibutakan matanya lewat suntikan zat asam serupa.
    
Rasanya pasti puas bila hukuman itu jadi dilaksanakan, bukan? Namun ternyata Ameneh Bahrami justru mengampuni pria yang sudah menganiaya dirinya itu dan membatalkan keputusan hukuman qishash yang semula diminta oleh dirinya. Bagaimana mungkin itu terjadi?

Hukuman qishash yang diatur syariat Islam yang berlaku di Iran  mewajibkan pembalasan “mata dibayar mata” dan hukuman mati bagi pelaku pembunuhan terencana. Berdasarkan keputusan hakim pengadilan syariah di ibukota Teheran, November 2008, terdakwa yang bernama Majid Mohavedi itu akan disuntik dengan cairan asam pada salah satu matanya.
    
Eksekusi hukuman pembutaan atas terdakwa Majid Mohavedi, yang sempat tertunda-tunda sebelumnya, dilaksanakan pada Minggu 31 Juli 2011 di salah satu rumah sakit pemerintah di Teheran. Sesuai keputusan pengadilan, hukuman qishash dilakukan oleh seorang dokter yang akan menyuntikkan 20 tetes zat asam ke dalam bola mata terdakwa. Meskipun dua mata Ameneh Bahrami menjadi buta akibat siraman asam, namun hakim hanya mengizinkan qishash untuk satu bola mata terdakwa.
    
Setelah vonis dijatuhkan, Majid Mohavedi dan keluarganya sudah berusaha meminta maaf kepada keluarga Ameneh Bahrami. Namun wanita muda itu bersikeras dengan alasan dirinya ingin agar penderitaan itu tidak berulang pada perempuan lain. "Saya dengan tegas tetap akan melakukan qishash. Saya mau qishash, dengan begitu saya akan ikhlas (rela)," ujar Ameneh Bahrami saat itu.
    
Menjelang hukuman itu, Majid Mohavedi merengek-rengek bagaikan anak kecil memohon ampun kepada Ameneh Bahrami dan keluarganya yang hadir menyaksikan eksekusi. Dalam tayangan langsung oleh televise pemerintah Iran, pria berusia 34 itu terlihat memeluk kaki Ameneh dan mengakui kesalahannya. Majid berdalih pada saat menyiramkan zat asam itu, dirinya sedang marah dan malu karena cinta dan lamarannya ditolak oleh Ameneh.
    
Padahal kelakuan Majid Mohavedi itu sudah merampas masa depan Ameneh Bahrami. Wanita muda itu harus menjalani 19 kali operasi plastic yang menyakitkan di Barcelona, Spanyol, meskipun kedua matanya akhirnya tetap buta dan kulit wajahnya menjadi keriput kasar. Kini tidak ada lagi pria yang bersedia menikahinya akibat kondisi fisiknya tersebut.
    
Jadi, mengapa Ameneh mengampuni si penganiaya? "Saat paling tepat untuk memaafkan seseorang adalah ketika kau berada di posisi berkuasa," kata Ameneh seperti dikutip kantor berita Associated Press. Mohavedi yang tampak kaget lalu mengucapkan terima kasih dan memuji Ameneh sebagai perempuan yang baik hati.

Jaksa penuntut umum, Abbas Jafari Dowlatabadi, menegaskan bahwa Movahedi akan tetap mendekam di penjara sampai pengadilan memutuskan hukuman lain. Keluarga Ameneh Bahrami juga mengajukan tuntutan ganti rugi financial kepada Mohavedi untuk mengganti biaya pengobatan putrinya.

Kantor berita Iran ISNA melaporkan kasus penyerangan dengan zat asam yang melukai wajah dan tubuh perempuan sudah sering terjadi di Iran. Bahkan seorang perempuan muda tewas akibat serangan zat asam di wajahnya beberapa waktu lalu, namun pelaku yang lamarannya ditolak itu hingga kini belum tertangkap.

Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, turut memuji pemberian ampun oleh Ameneh Bahrami yang mencerminkan sikap pemaaf seorang muslim dalam bulan suci Ramadhan. “Sikap yang tidak egois itu mencerminkan kehormatan bangsa Iran dan memberi pelajaran bagi kita untuk saling memaafkan dan meneruskan hidup kita,” kata Ahmadinejad seperti diberitakan CNN, Kamis 4 Agustus 2011.
    
Namun para aktifis kemanusiaan mendesak pemerintah Iran mengkaji ulang hukuman qishash bagi parta pelaku tindak kekerasan. “Hukuman yang setimpal memang pantas, namun semestinya jangan berupa siksaan fisik,” tutur Hassiba Hadj Sahraoui, wakil ketua lembaga Amnesti Internasional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara. 

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar