Home

Juni 11, 2011

Mesjid Agung tanpa Pengeras Suara


Foto: Omar Kamaleti sedang memperagakan cara sembahyang umat Islam

Biarawan/wati baru saja mengadakan kujungan ke Mesjid di kota Roma. Kunjungan ini selain amat dihargai, juga dinilai turut menciptakan hubungan baik antara umat Islam dan Katolik di kota Roma.

Sebanyak 72 biarawan/wati berkunjung ke mesjid kota Roma (08/11/08). Kunjungan ini diprakarsai oleh USG/UISG, wadah yang membawahi semua kongregasi Katolik.
Mesjid Roma terletak di kaki bukit Parioli, sebelah utara kota, tidak jauh dari stadion olah raga. Kompleks mesjid ini sekaligus juga berfungsi sebagai Pusat Kebudayaan Islam di Italia. Bapak Omar Kamaleti, salah seorang pengurus mesjid, menerima serta memandu kami. Pengunjung wanita diminta menutup kepalanya dengan kain. Saat memasuki mesjid, kami semua diminta melepaskan sepatu kami, sesuatu yang aneh bagi sebagian pengunjung. Sambil berkeliling, Pak Omar menjelaskan seluk-beluk isi mesjid. Sesudahnya, acara dilanjutkan dengan tanya-jawab terbuka.

Terbesar di Eropa

Mesjid yang berdiri di atas tanah seluas 30.000 m2 ini merupakan yang terbesar di Eropa. Tanah merupakan sumbangan dari pemerintah kota Roma, diberikan pada tahun 1974. Namun peletakan batu pertama, baru dilakukan sepuluh tahun kemudian. Raja Feysal dari Arab Saudi merupakan penyokong dana terbesar pembangunan mesjid ini. Selain Arab Saudi, sebanyak 22 negara lain ikut membantu mendanai, termasuk Indonesia. Dalam prasasti yang dipasang di luar tembok mesjid, terdapat daftar 23 negara penyumbang. Indonesia ada dalam urutan ke sembilan. Seluruh kompleks mesjid selesai dibangun dan diresmikan pada tanggal 21 Juni 1995.

Mesjid Roma tidak hanya digunakan untuk kegiatan sembahyang, tapi juga untuk banyak kegiatan lain seperti: perkawinan, upacara pemakaman, juga pelbagai seminar/kongres. Maklum, kompleks ini memiliki banyak fasilitas yang memadai, termasuk perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Pada saat ini, imam yang bertanggung-jawab atas mesjid di Roma adalah Ala Eldin Mohamed Ismail el Ghobashy dari Mesir.

Konon agama Islam sudah masuk Italia sejak abad ke 7, khususnya di Sicilia, Sardinia dan beberapa kawasan di semenanjung Italia. Sejak tahun 1300, keberadaan umat Islam di Italia tidak terdengar lagi.

Pada tahun 1970-an, ketika gelombang imigran dari Afrika Utara yang beragama Islam datang, agama Islam mulai dikenal lagi di Italia. Pada awalnya, para imigran datang dari Maroko, namun kemudian juga dari Albania. Pada tahun-tahun terakhir, mulai berdatangan imigran dari Mesir, Tunisia, Senegal, Pakistan. Tidak sedikit di antara mereka merupakan pendatang gelap. Sebuah sumber menyebut 40 % di antara imigran adalah illegal.

Saat ini diperkirakan ada satu juta umat Islam di seluruh Italia. Dari jumlah itu, sekitar 50.000 orang memiliki kewarga-negaraan Italia. Orang Italia asli yang memeluk agama Islam, tidak lebih dari 10.000 jiwa. Umat Islam Italia bernaung dalam beberapa organisasi, antara lain AMI, Assemblea Musulmana d’Italia dan CCII, Centro Culturale Islamico d’Italia.

Tanpa Pengeras Suara

Atas pertanyaan seorang peserta, Omar menjelaskan bahwa Mesjid di Roma tidak dilengkapi dengan pengeras suara. “Masyarakat di sekitar mesjid tidak ada yang beragama Islam. Jadi kami tidak perlu menggunakan pengeras suara!”, paparnya. Hal lain yang cukup menarik adalah soal puasa bagi umat Islam. Di Roma, juga di Eropa pada umumnya, bulan puasa bisa menjadi amat berat bagi umat Islam. Pada musim panas, matahari terbit amat cepat dan tenggelam amat lambat. “Di Roma pada bulan Juli, matahari bisa terbit jam 5 pagi dan tenggelam jam 9.30 malam. Padahal, kami berpuasa sejak terbitnya matahari hingga tenggelamnya”, ujar Omar disambut tawa hadirin.

Pada kesempatan itu Omar Kamaleti juga menuturkan bahwa secara umum agama Islam masih kurang dimengerti dengan baik di Italia bahkan ditakuti. Maklum, sebagian besar umat Islam di Italia adalah imigran yang miskin, penyebab munculnya beberapa masalah sosial. Selain itu, adanya publikasi kekerasan dan terorisme yang seolah-olah dilakukan orang Islam, makin menyudutkan nama Islam. Omar menyayangkan bahwa persoalan sosial, politik dan ekonomi kerap dicampur adukkan dengan persoalan agama. Omar yakin dengan terjadinya interaksi yang lebih baik (seperti kunjungan 72 biarawan/ wati ke mesjid), Islam bisa diterima dan diperlakukan lebih baik pula.

Heri Kartono, OSC (Dimuat di majalah HIDUP edisi: 07 Desember 2008; )

Sumber : 
http://batursajalur.blogspot.com/2008/11/kunjungan-ke-mesjid-di-roma.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar