Home

Juni 24, 2011

Kisah Pecandu dan Mujahidin

Kajian agama inilah yang akhirnya menguatkan saya. Bagaimana tidak, selama saya dipenjara, saya tertimpa masalah lainnya. Istri yang harusnya menjadi penjaga harta suaminya dan keluarga, ternyata menikah lagi.

Seorang pecandu ganja, akhirnya menemukan jalan terang setelah bertemu dengan mujahidin di dalam penjara.

Panggil saja saya Asep (bukan nama sebenarnya, red). Saya mantan pecandu ganja. Saya pernah terjerumus sebagai pengguna dan bandar ganja. Saya sudah menggunakan ganja sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekitar tahun 1981.

Saya menggunakan ganja karena tersesat di dalam pergaulan, bukan karena frustasi atau putus cinta. Saat itu, ganja sudah menjadi life style buat saya. Awalnya  saya menghisap ganja hanya sekadar ingin tahu bagaimana rasanya. Tapi ternyata, saya lama-lama jadi ketagihan. Tidak terasa, saya ketagihan sampai usia saya 30 tahun dan masuk penjara.

Pada mulanya ganja saya dapatkan dengan gratis. Kemudian, setelah ketagihan, saya jadi sering beli. Apalagi teman-teman saya juga banyak yang menjadi “setan”. Mereka selalu mempengaruhi saya untuk terus mengkonsumsi ganja.

Waktu saya SMP dulu, ganja masih terbilang sangat murah, karena masih terjangkau dengan uang jajan saya. Kalau saya ada uang, pasti akan beli. Harganya dulu sekitar lima ratus rupiah saja. Namun kalau sedang tidak punya uang jajan dan kepepet karena sudah sakaw, kadang uang untuk bayaran sekolah pun saya pakai untuk membeli ganja.

Selain menggunakan ganja, saya juga mengkonsumsi minuman keras. Orang tua saya pernah berpikir saya terkena kelainan jiwa gara-gara sering sakaw. Maklumlah, zaman dulu informasi tentang dampak akibat kecanduan obat-obat terlarang itu masih belum banyak. Saya pun sempat dibawa ke dokter. Dan untungnya, dokternya mengatakan saya normal. 

Saya terus mengkonsumsi ganja sampai bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Ada sensasi tersendiri ketika saya menghisap asap laknat. Dan itulah yang membuat saya begitu “mencintai” ganja, sehingga tidak ingin kehilangan sensasinya. Ya, hanya ganja. Tidak ada “barang” yang lainnya. 

Di bangku SMA, saya semakin “menggila”. Ditambah lagi saya satu tongkrongan dengan adik dari seorang artis layar lebar yang keluarganya memang terkenal kontroversial. Tapi saya tidak peduli dengan latar belakang keluarganya. Kami berkawan dekat, kemana-mana selalu berdua. Itu pun karena punya kepentingan yang sama, menghisap ganja.

Pakai ganjanya juga semakin sembarangan, tidak pakai dosis-dosisan. Kadang-kadang kita gantian belinya. Kalau saya punya uang, saya yang beli. Kalau kawan saya itu – sebut saja Budi - yang punya uang, maka dia yang belikan.

Hingga akhirnya, karena begitu kecanduan, saya pun tidak pernah menyelesaikan jenjang SMA saya. Saat kelas dua, saya berhenti sekolah. Saya jadi luntang-lantung, tidak pernah pulang. Hidup di jalanan, di pasar, di terminal, di stasiun, di mana-manalah.  Tiap hari kerjanya cuma mabuk, begadang, mabuk, begadang. Benar-benar tidak berguna sama sekali.

Tapi saya tidak sendiri. Saya selalu bersama-sama Budi. Bisa dibilang, Budi memang yang paling brutal di antara kawan-kawan saya. Tapi dia juga teman bisnis saya. Karena selain saya luntang-lantung di jalanan bareng Budi, saya juga membangun bisnis jual-beli ganja dengan dia. 

Sakaw itu sungguh menyiksa. Kalau sedang kepingin tapi tidak ada barangnya, saya bisa jadi “menggila”. Parahnya, kadang saya sampai mencuri uang keluarga saya demi bisa menikmati barang laknat itu.

Karena sering sakaw itulah akhirnya membuat saya memutuskan untuk berbisnis ganja. Oleh karenanya, saya meminjam modal kepada Budi. Kita berdua jualan barang ini, sekaligus menjadi stockist untuk kebutuhan kita sendiri. 

Saya juga sempat ngebandarin. Pasokannya semua dari Budi. Tapi kalau ditanya Budi dapat barangnya darimana, saya juga tidak tahu. Karena ternyata, jaringan narkoba itu tidak terbuka. Ia tertutup rapat. Saya sendiri tidak tahu ke atasnya itu ada siapa saja, saya tidak kenal. 

Hingga akhirnya, tahun 2005 saya ditangkap, divonis lima tahun, dan dijebloskan ke Cipinang. Saya tertangkap karena kurir saya yang tertangkap mengadukan saya ke Polisi. Sialnya, narkoba itu tidak seperti kriminal biasa. Tidak bisa ditebus. Apalagi waktu itu kapolrinya Sutanto. Narkoba satu kilo pun disita. 

Masuk sel, sudah seperti masuk hotel saja. Makan harus bayar. Ada juga yang nggak kuat bayar. Kalau tidak mau bayar, kadang dipukuli dan diperas. Untungnya teman saya banyak, jadinya saya tidak dipukuli. Saya satu sel nggak hanya dengan yang narkoba, tapi campuran. Ada yang kriminal juga. 

Dan saya pikir, masuk Cipinang tidak akan menemukan “barang” ini. Ternyata perkiraan saya salah.  Saya kira masuk sana bisa berhenti mengkonsumsi ganja, ternyata di sana lebih parah. Peredaran narkoba di sana bisa dibilang lebih dahsyat.

Penjara, bagi saya, menjadi lembaga yang tidak mendidik. Sampai akhirnya saya kenalan dengan para mujahidin yang dipenjara. Saya dapat banyak kisah-kisah islami. Saya pun menimba ilmu kepada mereka. Banyak hal yang mengubah saya. Terutama ketika saya banyak melihat teman saya mati satu per satu di penjara.

Hampir tiap hari saya menyaksikan kawna-kawan saya meninggal karena HIV dan overdosis. Lama-kelamaan saya jadi ngeri sendiri. Kita merasa belum punya bekal akhirat, tapi sudah keburu dipanggil pulang. Pelan-pelan saya pun mulai ke masjid untuk terus menimba ilmu dengan para mujahidin itu. 

Dorongan untuk menimba ilmu datang dari diri sendiri, tidak ada yang mengajak. Di sana saya diskusi dengan ustadz. Saya ingin belajar mengaji dengan dia. Biarpun dapatnya cuma sedikit, tapi saya sudah alhamdulillah. Sedikit demi sedikit, pintu hati saya mulai terbuka dan punya niat untuk berubah.

Mereka mungkin dianggap teroris. Seperti yang kita tahu, teroris itu di cap kasar dan radikal. Tapi nyatanya mereka tidak seperti itu. Mereka cuma benci saja dengan Amerika dan Yahudi. Tidak bisa disalahkan juga, karena yang jadi korbannya ya orang-orang kita juga (orang Islam, red).

Mereka orang-orang baik. Mereka kadang bikin komunitas sendiri, tapi untuk diskusi, mereka tergolong asyik bagi saya. Ilmunya saja yang saya ambil. Untuk urusan bom-mengebom, itu urusan dialah. Kita punya jalan masing-masing.

Ustadz yang ceramahnya paling berkesan buat saya adalah Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Saya ketemu ustadz Abu sekitar tahun 2005-2006-an, sebelum tahun 2006 dia dibebaskan. Waktu itu beliau masih  jadi napi di Cipinang. Beliau orangnya berkharisma. Beliau tidak mau dicium tangannya. Beliau juga tidak peduli kalau orang menganggapnya teroris.

Ustadz Abu selalu mengisi kajian tiap hari Rabu dan Jumat. Ustadz Abu sudah memberikan pencerahan sehingga saya bisa mendapat hidayah. Seperti oase di padang pasir, penjara tiba-tiba berubah menjadi pesantren bagi saya.

Kajian agama inilah yang akhirnya menguatkan saya. Bagaimana tidak, selama saya dipenjara, saya tertimpa masalah lainnya. Istri yang harusnya menjadi penjaga harta suaminya dan keluarga, ternyata menikah lagi. Padahal kami belum bercerai. Mungkin bisa dibilang istri saya melakukan praktik poliandri. Akibatnya, anak perempuan saya satu-satunya yang menjadi korban.

Untuk Siti-lah saya berjuang untuk berubah. Saya ingin benar-benar memperbaiki kesalahan saya dengan tidak menjadi bapak yang baik untuk Siti. Dan, begitu saya keluar penjara, alhamdulillah, saya pun bercerai dengan istri saya tersebut. Setelah disuruh memilih, akhirnya Siti memilih saya untuk mengasuhnya. Saat ini, saya mendambakan seorang istri shalihah untuk ibu dari anak saya. Semoga Allah mengabulkan doa saya. Amin.

Sumber :
Lintas Berita

1 komentar:

agen sbobet mengatakan...

semoga b'manfaat artikel'a

Posting Komentar