“Manusia boleh berusaha, Tuhan-lah yang menentukan,” pesan kakek yang bijaksana kepada cucunya pada malam menjelang tidur. “Itulah yang dinamakan takdir cucuku,” lanjut pria tua renta itu.
”Seperti para tukang parkir, kendati mereka berusaha memarkirkan mobil dari pagi hingga malam, baik terik maupun hujan, kalau garis tangannya menjadi tukang parkir, ia akan menjadi tukang parkir selamanya. Akan tetapi kalau ia bermalas-ma...lasan, ia akan mati kelaparan karena tidak punya uang.”
”Berbeda dengan anak konglomerat yang tujuh turunan hartanya tidak habis. Ia tinggal duduk mobil turun mobil, lalu meneruskan usaha bapaknya. Itu karena garis tangannya seperti itu.”
”Berarti takdir itu kejam dong kek?” tanya sang cucu. Sang kakek terdiam sejenak. ”Kenapa tidak semuanya diciptakan Tuhan sama, sebagai konglomerat? Apa Tuhan tidak adil dong kalau begitu kek, gimana?” desak sang cucu. Sang kakek mengerinyitkan dahinya.
Lalu, ia menemukan jawaban dari pertanyaan bocah lugu itu. ”Itulah letak keadilan Tuhan. Coba kalau semua konglomerat. Maka tidak akan ada tukang parkir itu. Lalu siapa yang akan mengarahkan mobil si konglomerat yang sedang ingin parkir? Bisa-bisa ia nubruk pohon dan pohonnya tumbang dan menimpa mobil itu hingga si konglomerat tewas.”
”Coba kalau tidak ada tukang sampah, apakah konglomerat itu yang akan mengangkut dan membuangnya ke tempat pembuangan? Apakah ia juga akan membersihkan kantornya sendiri jika tidak ada tukang pantri?”
” Semua saling membutuhkan. Para pekerja kecil itu membutuhkan uang dari si konglomerat. Si konglomerat membutuhkan jasa para pekerja itu. Oleh karena itu, kita harus menghargai satu sama lain cucuku. Semua manusia itu berharga. Itulah keadilan yang diberikan oleh Tuhan. Mengerti cucuku tersayang?”
Tidak ada jawaban dari si cucu. Tak disangka si cucu sudah tertidur sebelum penjelasan si kakek selesai. Dalam hatinya, si kakek yang bijaksana berpikir, ”Nanti kau akan menemukan jawabannya sendiri, cucuku tersayang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar