Home

November 04, 2010

Mencintai Orang Miskin


“Tuhanku telah memerintahkanku untuk mencintai orang-orang miskin dari kalangan kaum muslimin”
~ Rasulullah saw ~


Kecintaan terhadap orang-orang lemah dan orang-orang tertindas merupakan awal dari cinta persaudaraan. Dengan mencintai orang-orang lemah dan tertindas, manusia mulai mengembangkan cinta terhadap sesamanya, dan saudara-saudaranya. Dalam cintanya pada dirinya sendiri, dia juga mencintai orang yang membutuhkan bantuan, yaitu mereka yang lemah, lagi tertindas.

Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk mencintai orang-orang miskin dari kalangan kaum muslimin. Hadits ini telah mebuka sebuah makna cinta yang sangat mendalam. Dan dari hadits ini pula kita bisa memahami perbedaan cinta dengan rasa iba atau rasa kasihan. Tuhan memerintahkan Rasulullah saww untuk mencintai orang-orang miskin, bukan sekedar mencintai mereka.

Pada tataran ini makna cinta akan terasa lebih kental dengan bentuk-bentuk kepedulian, keterlibatan bahkan sampai pada tataran puncaknya adalah membela orang-orang miskin dan kaum tertindas.

Karena kecintaan kepada mereka memanifestasikan cinta Tuhan kepada mereka, sebagaimana disebutkan di dalam hadits Mi’raj diriwayatkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ”Wahai Ahmad! Cintailah Aku dengan cara mencintai kaum fuqara (orang-orang fakir). Dekatilah mereka dan datangilah majelis-majelis mereka. Dan jauhilah orang-orang kaya dan jauhilah olehmu majelis-majelis mereka. Karena sesungguhnya Aku mencintai orang-orang faqir” 20]

Maksud Allah Swt memerintahkan Rasulullah Saw untuk menjauhi orang-orang kaya dan majelis-majelis mereka, tentu saja adalah orang - orang kaya yang eksklusif, yang tidak bersedia bergaul dengan kaum fuqara dan melarang orang-orang miskin hadir pada majelis-majelis mereka.

Karena memang umumnya orang-orang kaya bertabiat ingin diistimewakan, ingin mendapatkan perlakuan khusus, ingin memperoleh fasilitas VIP dan hal-hal lainnya yang semacam itu. Sehingga sering kita jumpai ketika mereka mengadakan pengajian pun, mereka membuat pengajian tersebut secara ekslusif. Perbedaan yang paling menyolok antara majelis orang-orang kaya dengan orang-orang miskin terletak pada masalah ini, yaitu sikap ekslusif. Hal ini bisa kita buktikan pada beberapa majelis-majelis orang-orang kaya yang apabila dihadiri oleh beberapa orang miskin mereka merasa jengah dan terganggu.

Hal ini bahkan dibuktikan dan diabadikan di dalam Surat al-Abasa yang mengisahkan seorang buta yang miskin, yaitu Abdullah bin Ummi Maktum, yang datang untuk minta penjelasan kepada Rasulullah saww yang saat itu sedang memberikan dakwah kepada orang-orang terpandang dan kaya dari bangsawan-bangsawan Quraisy.

Beberapa dari mereka (bangsawan Quraisy) merasa terganggu oleh kedatangan Abdullah bin Ummi Maktum, sampai-sampai salah seorang dari sahabat Nabi yang berasal dari golongan kaum bangsawan Quraisy merasa kesal dan memalingkan wajahnya karena kehadiran sang fakir ini, sehingga Allah pun menegur orang ini (bukan Nabi) atas sikapnya yang eksklusif tersebut. (Lihat Tafsir Surah ‘Abasa Ynag Sahih)

Rasulullah saww berwasiat kepada sahabat Abu Dzarr al-Ghifari ra : “Wahai Abu Dzarr! Bershilaturahimlah kepada kerabatmu, meskipun mereka memutuskan shilaturrahim dan cintailah orang-orang miskin dan duduklah bersama mereka” 21]

Orang kaya yang bagaimana yang mesti anda jauhi?

Rasulullah saww bersabda, ”Hindarilah oleh kalian majelis ‘orang mati’!” Ditanyakan kepada beliau,”Wahai Rasulullah, apa yang engkau maksudkan ‘orang mati’? Beliau menjawab,”Setiap orang yang kaya yang melampaui batas karena kekayaannya.” 22]

Kita harus menjauhi orang-orang kaya yang hanya mementingkan diri mereka sendiri, hidup bermewah-mewah, berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang dan kekayaan mereka hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan selera-selera rendah mereka, popularitas dan bahkan memperbanyaknya.

Di dalam wasiat Rasulullah Saw lainnya kepada Abu Dzarr ra , ”Akan ada sekelompok manusia dari umatku yang dilahirkan dalam kemewahan, hidup dalam kenikmatan, tujuan hidup mereka hanya pada aneka macam makanan dan minuman dan memuji-muji dengan lidah. Mereka itulah sejelek-jelek umatku.” 23]

Orang-orang kaya yang seperti inilah yang diperintahkan oleh Allah SwT untuk dijauhi.

Mengapa orang -orang miskin lebih diutamakan Tuhan ketimbang orang kaya?

Ketika Allah memerintahkan Rasulullah dan kita untuk mencintai dan mendekati mereka adalah karena pada hakikatnya mereka-lah yang lebih membutuhkan cinta ketimbang orang-orang kaya. Seluruh penderitaan yang dialami oleh orang-orang fakir, miskin dan tertindas jangan hanya dilihat dari sisi fisik atau materi saja. Kita juga harus melihat ada luka yang menganga pada batin mereka, sehingga kita perlu menyembuhkannya.

Luka itu adalah luka akibat rasa sepi, rasa ditinggalkan, rasa diabaikan sehingga mereka haus kasih dan cinta. Sebenarnya ini juga dialami oleh kebanyakan orang-orang kaya, namun orang-orang kaya bisa menghibur dirinya dengan simpanan materi yang mereka miliki. (Walaupun hiburan-hiburan itu hanya bersifat sementara). Sebaliknya orang-orang fakir miskin tidak memiliki sesuatu pun untuk bisa mengisi kekosongan itu.

Kita melihat pada masa ini orang-orang pintar lebih banyak membicarakan orang-orang miskin dan tertindas ketimbang berbicara dengan mereka.

Sesungguhnya makna cinta bukan sekedar bicara tetapi terlebih penting lagi adalah melibatkan diri dan hidup kita bersama mereka di jalan Tuhan. mencintai mereka juga berarti kita harus ikut merasakan penderitaan sebagaimana mereka merasakannya. Memberi makan kepada orang-orang miskin berarti memberi makan kepada Tuhan, mengasihi dan mencintai mereka juga berarti mencintai Tuhan.

Saya teringat sebuah hadits Qudsi yang sangat indah maknanya, yang merupakan salah satu hadits Qudsi yang dikumpulkan oleh Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi qs. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “…Wahai Anak Adam! Aku meminta makan kepadamu tetapi engkau tiada memberi-Ku makan” Si Hamba bertanya: “Wahai Tuhan, bagaimana mungkin aku memberi-Mu makan padahal Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah berfirman,“Tidakkah kau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan meminta makan kepadamu tapi engkau tiada memberinya makan? Tidakkah engkau tahu bahwa jika kau memberinya makan, niscaya engkau akan menemukan itu di sisi-Ku. Wahai Anak Adam! Aku meminta minum kepadamu tapi tidak kau beri Aku minum” Si Hamba menjawab: “Wahai Rabbi, bagaimana mungkin aku memberi-Mu minum padahal Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?’ Allah berfirman: “Hamba-Ku si Fulan minta minum kepadamu tapi engkau tiada memberinya minum. Padahal jika engkau memberinya minum niscaya akan kau dapati itu di sisiKu.” 24]

Konon Nabi Ibrahimm as tidak bersedia makan kecuali jika ada beberapa tamu yang ikut serta makan bersama di mejanya. Suatu ketika terjadi, tidak seorang tamu pun yang datang ke rumahnya, padahal beliau sudah merasa lapar. Ibrahim pun pergi keluar untuk mencari seseorang yang bersedia untuk diajak makan bersamanya dan akhirnya di tepi hutan ia bertemu dengan seorang yang telah berusia lanjut.

Beliau pun mengundangnya untuk makan dan lelaki tua itu pun menyetujuinya dan pergi bersama ke rumah Ibrahim. Di tengah perjalan Ibrahim as bertanya kepada lelaki tua itu mengenai agama yang dianutnya dan si lelaki tua itu pun menjawab bahwa ia seorang yang tidak beragama (atheist). Mendengar hal ini Ibrahim as pun menjadi marah dan membatalkan undangan makannya kepada si lelaki tua.

Namun tak lama setelah itu beliau mendengar suara dari atas, ”Wahai Ibrahim, Kami bersabar atasnya selama tujuh puluh tahun meskipun ia tidak beriman (kepada Kami), namun engkau tidak dapat bersabar atasnya meskipun hanya tujuh menit saja?”. Mendengar hal ini Ibrahim as pun sadar, lalu beliau pun segera menyusul lelaki tua itu untuk kembali ke rumahnya untuk makan malam bersamanya. 25]

Rasulullah saww bersabda, ”Seseorang yang melewati malamnya dengan perut kenyang sedangkan tetangganya menderita lapar, berarti ia tidak pernah beriman kepadaku. Pada Hari Qiyamat Allah tidak akan memandang penduduk suatu negeri yang salah satu warganya kelaparan.” 26]

Ketika seorang miskin mati kelaparan, itu terjadi bukan karena Tuhan tidak memperhatikannya, tetapi karena Anda maupun saya enggan memberikan kepada orang tersebut sesuatu yang dibutuhkannya.

Kemurahan hati tanpa ketulusan hati dan jiwa laksana ramuan di atas tumpukkan sampah, wahai sahabatku!
Lihatlah mereka dari kejauhan dan lupakanlah! Jamuan itu tak pantas untuk dimakan bahkan dicium!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar