Sajadah milik Ibu sudah tua, Bahkan lebih tua dibanding umurku yang kini sudah berkepala tiga. Ketuaan sajadah itu bisa dilihat dari warnanya yang sudah kusam dan susunan serat kainnya yang sudah rapuh sehingga bolong-bolong. Jika dikebat-kebatkan, sehabis digunakan untuk shalat, banyak serpihan serat kainnya berguguran.
Meskipun demikian, Ibu tetap selaiu melakukan shalat dengan menggunakan sajadah tua itu, Padahal, di dalam lemari pakaiannya. ada lima lembar sajadah lain yang bagus-bagus, Sebagai anak semata wayang, yang sudah cukup makmur karena berpenghasiian cukup tinggi sebagai anggota legislatif, aku sangat malu melihat Ibu mengikuti shalat berjamaah di masjid dengan memakai sajadah tuanya itu. Sudah berkali-kali aku memprotesnya, agar membuang atau membakar sajadah luanya itu. Tapi Ibu tak pernah menggubris protesku.
“Aku sangat malu kalau sajadah tua yang sudah layak dibuang ke tong sampah itu tetap Ibu gunakan untuk shalat di masjid,” ujarku dengan kesal, ketika melihat Ibu pulang dari masjid selepas maghrib.
“Kenapa kamu yang malu? Padahal, Ibu tidak malu. Dan Ibu akan selalu memakai sajadah tua ini setiap melakukan shalat di mana pun.”
“Ibu kolot!”
“Ya, maklumlah. Orangtua memang harus kolot.”
“Ibu tidak mau bersyukur.”
“Apa katamu? Justru Ibu bersyukur, karena bisa tetap melaksanakan shalat dengan sajadah tua ini.”
Aku ingin berdebat lagi. Tapi rasanya percuma saja berdebat dengan Ibu yang sudah terlanjur menyukai sajadah tuanya itu. Lalu aku teringat riwayat sajadah tua itu.
Konon, sajadah tua itu merupakan mas kawin yang diberikan oleh Ayah (sekarang almarhum) ketika menikahi Ibu. Dan konon, Ayah memang sedang miskin, tak punya uang, dan satu-satunya barang berharga yang bisa digunakan untuk mas kawin adalah sajadah tua itu.
Dan konon pula, sajadah tua itu bukan dibeli oleh Ayah, melainkan merupakan hadiah istimewa dari Ustadz Baasyir. Ayah mendapat hadiah istimewa berupa sajadah tua itu dari Ustad Baasyir, karena Ayah berhasil menghapal 30 juz Al-Qur’an dalam usia 20 tahun. Begitulah, semasa mudanya. Ayah memang menjadi santri di pondok milik Ustadz Baasyir untuk belajar menghapal Al-Qur’an.
***
MALAM itu sudah larut. Ibu sudah tidur. Istriku juga sudah tidur bersama anak-anak, Tapi aku masih saja duduk termenung di ruang kerjaku. Pikiranku rasanya tegang, karena tetap merisaukan sajadah tua milik Ibu yang tetap selalu dipakainya untuk shalat di masjid. Seandainya sajadah tua itu hanya dipakai untuk shalat di rumah, mungkin tidak akan merisaukanku.
Tiba-tiba aku mendapat gagasan jahat: Mencuri, lalu membuang atau membakar sajadah tua itu, agar Ibu bersedia memakai sajadahnya yang lain yang bagus-bagus, Ya, aku memang harus mencurinya. Dan tanpa berpikir panjang lagi, segera aku memasuki kamar Ibu dan mencuri sajadah tuanya itu. Sebagaimana maling, langkahku bersijingkat, sangat pelan, ketika masuk dan kemudian keluar dari kamar Ibu dengan membawa sajadah tua itu. Tapi, sebelum aku keluar dari kamar Ibu, jendelanya kubuka lebar-lebar, agar mengesankan ada maling betulan yang telah memasuki kamarnya dan kemudian mencuri sajadah tuanya itu.
Begitulah, sajadah tua milik Ibu kemudian kusembunyikan di dalam almari buku di ruang kerjaku. Aku tidak tega jika langsung membuang atau membakarnya. Aku masih dihinggapi perasaan iba dan khawatir. Ya, aku pasti kasihan jika melihat Ibu bersedih gara-gara kehilangan sajadah tuanya itu. Dan aku tidak ingin Ibu kemudian jatuh sakit karena terus menerus bersedih.
Malam semakin larut, Dan aku kemudian tidur bersama istri dan anak-anak. Dan menjelang waktu subuh, seperti biasanya Ibu bangun tidur dan langsung mandi serta berwudhu sebelum kemudian berangkat ke masjid untuk mengikuti shalat subuh berjamaah.
“Maling sial! Maling terkutuk! Kenapa sajadah tua yang tidak mungkin bisa dijual harus kamu curi, maling terkutuk?!” teriak Ibu berulang-ulang sambil menangis. Aku dan istriku tersentak bangun.
“Cepat keluar, Mas. Mungkin ada maling yang telah memasuki kamar Ibu,” perintah istriku dengan wajah panik.
Dengan sikap tenang, aku beranjak ke kamar ibu. Dan aku sangat terkejut ketika melihat Ibu tergeletak lemas di lantai kamar. Segera kuangkat Ibu untuk kubaringkan di atas ranjangnya. Mata Ibu terbuka lebar-lebar, dan bibirnya bergerak-gerak membisikkan kata-kata kutukan: “Maling terkutuk. Maling terkutuk. Maling terkutuk.”
Dadaku berdebar-debar mendengar kutukan Ibu yang diulang-ulang itu. Aku merasa sangat bersalah dan menyesal, karena telah menjadi maling yang mencuri sajadah tua milik Ibu itu. Aku sangat takut, jika kutukan Ibu dikabulkan oleh Tuhan. Tapi, semuanya sudah terlanjur. Aku tidak akan mengaku telah mencuri sajadah tua itu kepada siapa pun, khususnya kepada Ibu dan istriku.
Sebab, aku yakin, jika aku mengaku telah mencuri sajadah tua itu, maka Ibu akan menuntutku agar mengembalikannya dan kemudian Ibu kembali akan memakainya untuk shalat sebagaimana biasanya. Tidak. Aku tidak mau menanggung malu terus menerus gara-gara Ibu selalu memakai sajadah tuanya itu untuk shalat di masjid.
Istriku menyusulku ke kamar Ibu. Dan setelah melihat Ibu nampak habis terserang stroke, istriku kemudian menatap jendela yang terbuka lebar-lebar itu.
“Pasti malingnya masuk lewat jendela itu, Mas,” tebak istriku.
“Ya, mungkin saja.”
“Tapi aneh rasanya, ada maling kok sudi mencuri sajadah tua yang pasti tidak akan bisa dijual,” lanjut istriku dengan kening berkerut.
“Mungkin malingnya punya tujuan khusus, Misalnya, ingin mendapatkan jimat. Konon, sajadah tua memang bisa digunakan untuk jimat,” ujarku. Ibu masih saja membisikkan kalimat kutukan terhadap maling yang telah mencuri sajadah tuanya. Dan aku mendengarnya dengan hati yang semakin berdebar-debar. Aku takut jika kutukan Ibu menimpa diriku. Lalu, dengan lembut aku dan istriku menghibur Ibu.
“Sudahlah, Bu. Lupakan saja sajadah tua yang telah dicuri oleh maling itu. Bukankah Ibu masih punya lima sajadah yang bagus-bagus?” hibur istriku. “Doakan saja semoga malingnya bertobat, dan kemudian rajin melakukan shalat dengan menggunakan sajadah tua yang dicurinya itu, Bu. Sebaiknya Ibu mengikhlaskannya dan memaafkan malingnya, agar Ibu mendapat banyak pahala,” hiburku.
Ibu kemudian tidak membisikkan lagi kalimat kutukan. Tapi untuk selanjutnya, Ibu tidak bisa bangkit lagi, tetap saja terbaring, karena menderita lumpuh.
Dengan demikian, setiap melakukan shalat, Ibu tidak membutuhkan sajadah lagi, karena shalatnya dilakukan sambil berbaring. Istriku ikut-ikutan mengutuk maling yang telah mencuri sajadah tua milik Ibu, yang membuat Ibu jatuh sakit dan menderita kelumpuhan permanen itu.
“Gara-gara maling sial dan terkutuk itu, aku jadi repot sekali merawat Ibu,” gerutu istriku menjelang tidur.
Klik untuk melanjutkan :
Sajadah Tua Milik Ibu Part 2
Sumber :
www.dikutip.com
Klik untuk melanjutkan :
Sajadah Tua Milik Ibu Part 2
Sumber :
www.dikutip.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar